Artikel

Bercengkerama dengan kelelahan di atas terjal medan Guntur

Tanggal 1-2 Oktober 2011, saya dan Puji berniat untuk mendaki gunung Guntur yang terletak di kota Garut. Kami mendaki dengan di temani beberapa kawan yang asli orang Garut. Ada Kang Rony, Kang Ardik dan Kang Irman.

Jum’at, 30 September 2011

Sesuai perjanjian, saya dan Puji bertemu di halte busway RS. Sumber Waras pada pukul 20.00. Setelah beberapa beberapa lama menunggu, busway pun datang. Hanya melewati satu shelter, kami turun di halte busway Grogol 2 untuk transit ke arah Kampung Rambutan. Sayangnya tak ada busway yang langsung menuju kesana, kami pun berpindah di halte busway BNN untuk transit busway arah Kampung Rambutan dan turun di halte Pasar Rebo. Tak di sangka keinginan kami untuk cepat sampai dan mendapatkan kenyamanan dengan menggunakan busway tak terlaksana, jalur yang kami lewati macet parah. Jalur busway koridor Pluit-Pinang Ranti. Tak hanya macet, sepanjang perjalanan kami pun berdiri karena tak pernah mendapat kursi, kondisinya sangat sesak. Karena terlalu lama berdiri dan lumayan kelelahan, di dalam busway arah Kampung Rambutan, Puji pun muntah-muntah. Karena tak tega melihat kondisi Puji, saya pun memutuskan untuk turun di halte Pasar Rebo dan bukan di pemberhentian terakhir yakni terminal Kampung Rambutan. Pukul 22.00 kami tiba, waktu tempuh yang lumayan lebih lama di banding menggunakan angkutan umum biasa.

Sungguh, Jakarta tak ubahnya seperti kota dengan kesenjangan sosial yang cukup tinggi. Dimana rasa kepedulian mulai meranggas. Sepanjang perjalanan kami tak mendapat tempat duduk, padahal di hadapan kami Nampak hampir sederet lelaki yang masih sangat terlihat kuat tetapi duduk dengan santainya, tanpa memperdulikan kami yang berdiri kelelahan dengan menggendong ransel. Tak hanya kami tapi juga terdapat beberapa wanita yang terlihat baru pulang bekerja terlihat sangat lelah.

Untuk menghilangkan rasa mual, Puji membeli buah-buahan. Dan setelah itu, kami pun dengan antengnya kami menunggu bus yang akan mengantar kami ke Garut. Di kejauhan saya liat bus AC yang menuju Garut, tanpa pikir panjang kami menghampiri dan langsung menaiki bus tersebut. Karena kelelahan, kami pun langsung tertidur. Tapi lumayan mengesalkan, ternyata ketika beberapa kali terbangun bus masih ditempat semula, menunggu penumpang hingga penuh. Pukul 01.00 lewat bus baru mulai berjalan. Saya masih sedikit terjaga ketika kernet bus meminta ongkos. Rp 35.000,- tarif bus AC yang kami naiki.

Sabtu, 1 Oktober 2011

Pukul 05.00 subuh, kami tiba di Terminal Guntur. Dengan wajah yang kusut. Kami langsung menuju toilet umum untuk bersih-bersih dan ke Musholla untuk menunaikan sholat shubuh. Setelah menelpon Kang Rony, mengabarkan bahwa kami sudah tiba di Terminal. Kang Rony dan Kang Ardik pun menjemput kami. Kurang lebih 15 menit dari Terminal, kami tiba di rumah Kang Rony. Hawa dingin masih menyelemuti Garut pagi itu. Menurut informasi Kang Ardik, suasana Garut memang seperti itu. Sejuk. Nikmat terasa di buai angin dingin asli yang berasal dari pegunungan. Berlalu sejenak dari kepenatan Ibukota Jakarta.
Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan ???

Tiba di rumah Kang Rony, kami bertemu dengan ibunya. Dengan takzim, kami pun mencium tangan beliau. Setelah itu kami menuju kekamar Kang Rony, mengobrol sebentar dan Kang Ardik mengajak kami ke bagian atas rumah Kang Rony dimana kami dapat melihat rumah-rumah di sekitar yang cukup rapat tapi sangat sejuk dan sepi. Kang Rony dan Kang Ardik kemudian meninggalkan kami untuk beristirahat dahulu sebelum memulai pendakian pada ba’da zuhur.

Pukul 10.00, setelah kami mulai packing barang dan memilah-milah mana barang yang di bawa dan ditinggal. Azan berkumandang, kami pun menunaikan sholat zuhur. Sebelum berangkat kami pun menunggu Kang Irman yang belum datang. Pukul 13.00, setelah personil lengkap, kami bergegas meninggalkan rumah Kang Rony. Hanya menaiki angkot sekali arah Cipanas, kami turun di daerah wisata pemandian air panas Cipanas. Setelah membayar ongkos sebesar Rp 2000,- / orang, kami bergegas turun. Perjalanan kami lanjutkan melewati jalan aspal beberapa menit, lalu berbelok melewati rumah warga dan kebun-kebun. Jalur selanjutnya adalah menuju penambangan pasir. Medan yang tidak terlalu berat namun sangat berdebu. Waktu menunjukkan pukul 14.00, kami beristirahat sejenak di sebuah rumah yang terletak di jalur penambangan pasir. Pemandangan indah mulai terlihat, tebing-tebing hijau yang menjulang, bebatuan yang dahulu terkena lahar menghitam namun terlihat sangat indah dan alami. Truk-truk pasir nampak hilir mudik dengan pegawainya. Tak ayal, ketika truk-truk lewat, jalur berpasir tersebut meninggalkan tiupan pasir yang menganggu pernapasan.

Sejenak istirahat, kami melanjutkan perjalanan. Jalur yang berkelok-kelok, berpasir dan beberapa batu coral mengawali langkah kami menuju ke jalur hutan yang mulai di penuhi dengan pepohonan yang tidak begitu lebat. Sepanjang perjalanan kami mengamati beberapa pekerja yang tekun mengerjakan tugasnya sambil bersenda gurau dengan teman kerjanya. Seringkali saya tertinggal dengan yang lainnya. Entah, mungkin di karenakan kurangnya berolahraga menjadikan tubuh saya tidak sekuat dahulu. Salut dengan Puji yang baru pertama mendaki tapi mampu menyesuaikan dengan medan yang ada, tanpa mengeluh dan tak mengenal lelah.

Memasuki kawasan hutan, kami melewati aliran air yang berasal dari curug Citiis, dikarenakan musim penghujan belum tiba maka debit air pun belum memenuhi aliran tersebut. Itu informasi yang saya dapat dari Kang Ardik. Di tengah aliran air yang kering tersebut, kami beristirahat untuk kedua kali. Tak lupa, akang-akang pun langsung menghisap persediaan rokok yang mereka bawa. Sedikit mengganggu, bahwa di alam yang sejuk tapi masih harus menghirup asap beracun. Saya pun hanya bisa pasrah dan sekedar mengingatkan.

Kurang lebih 15 menit, kami kembali mendaki. Jalur hutan yang kami lewati memang tak selebat gunung-gunung di Jawa Barat lainnya. Lagi-lagi saya tertinggal, hingga mendekati curug Citiis karena saya lelah saya pun duduk sebentar dan meminta mereka untuk meninggalkan saya karena saya tak enak bila harus merepotkan (padahal saya sudah sangat sering merepotkan). Kang Ardik yang tadinya di depan saya pun saya lihat sudah tak ada. Lalu Kang Rony datang menghampiri saya dan mengajak saya kembali berjalan, namun karena saya masih lelah, saya pun meminta Kang Rony meninggalkan saya. Walhasil, kini saya sendirian di hutan. Saya pun meminum madurasa yang saya bawa, semoga bisa memulihkan tenaga – fikir saya -. Merasa badan saya sudah membaik, saya memutuskan berjalan. Ketika saya menengok ke atas, dengan sedikit terkejut karena di sana terlihat ada dua jalur yang saya tak tahu. Sedangkan kawan-kawan sudah tak terlihat sama sekali. Akhirnya saya memilih jalur kanan. Namun hanya beberapa langkah saya mulai ragu, apa benar itu jalurnya. Sedangkan bunyi aliran air terdengar nyata dari jalur sebelah kiri. Ragu melanjutkan perjalanan, saya pun memanggil kawan-kawan saya. Tak ada jawaban, saya fikir mungkin mereka sudah jauh melewati saya. Lalu saya pun menelpon Kang Irman untuk menanyakan jalur mana yang benar. Tak lama, Kang Irman muncul. Benar dugaan saya, jalur yang benar ada di sebelah kiri dan jalur yang saya lewati adalah jalur babi hutan – itu kata Kang Rony-.

Ternyata hanya berjalan sebentar dari tempat saya beristirahat tadi, tibalah saya di curug Citiis. Suara air yang mengalir terdengar syahdu menyambut kedatangan saya. KeMahaBesaran Allah nampak di hadapan saya. Kembali berjumpa dengan alamNya yang telah lama belum saya hampiri. Segala Puji Bagi Allah, Tuhan Seluruh Alam.

Di dekat curug terdapat sebuah bangunan kayu alakadarnya yang dapat di gunakan untuk berteduh, yang akhirnya saya tau bahwa bangunan tersebut jikalau siang di gunakan sebagai warung. Sesampainya saya di curug, Kang Rony rupanya telah merebus air untuk membuat minuman hangat. Karena kami tiba di curug telah memasuki waktu sholat ashar, satu persatu dari kami bergantian untuk melaksanakan sholat ashar. Saya dan Puji sholat berjamaah. Sudah lama sekali saya tak merasakan nikmatnya sholat di alam terbuka, di temani gemericik air terjun yang tanpa lelah mengalir dari hulu hingga hilir. Beralaskan sajadah, rupa batu tak menghalangi rasa perih di kaki dan tangan saya ketika bersujud. Tapi sungguh, kenikmatannya dapat bersujud di tengah alam ciptaanNya melebihi rasa perih tersebut.

Sesudah sholat saya pun berfoto bersama Puji di bawah curug Citiis dengan Kang Ardik sebagai sang Photographer. Di temani senyum dan canda, kami melewati sore tersebut. Tiba-tiba kami melihat Kang Rony berhasil menangkap seekor hewan. Yang kami tau belakangan bahwa hewan tersebut adalah kuskus, bergigi tajam dan berkuku lancip. Maklum karena terlalu lama di kota saya tak begitu hafal dengan nama hewan, terlebih yang jarang saya temui. Menurut Kang Rony, hewan tersebut tergolong langka, karena biasanya kuskus berwarna coklat, sedangkan yang tertangkap adalah kuskus dengan warna mayoritas hitam.

Seketika, kuskus itupun bagai selebritis dadakan. Kang Ardik, Puji, Kang Irman dan saya berlomba mengambil gambarnya. Lucunya ketika Kang Ardik mencoba untuk mengikat mulut kuskus tersebut dengan tali rafia selalu saja gagal karena kuskus itu selalu saja pandai mengelak. Akhirnya kuskus itupun di lepas kembali.

Sambil menunggu maghrib, kami hanya mengobrol dan sesekali bermain di curug. Saya dan Puji sempat berfikir aneh, kenapa istirahat kali ini lama sekali. Menjelang maghrib, barulah kami tau dari Kang Rony, bahwa kami akan melanjutkan perjalanan ba’da Isya. Waktu sholat maghrib tiba, kembali kami bergantian melaksanakan sholat maghrib. Tak lupa, saya dan Puji kembali sholat berjamaah. Selesai sholat, saya pun merasa lapar dan bilang kepada Kang Rony untuk memasak makanan. Menu pertama kami adalah mie rebus dan nasi putih. Sambil menunggu makanan masak, saya pun membaca Al Qur’an. Yang lain nampak sedang memainkan HP. Koki kami kali ini adalah Kang Rony dengan Puji. Mie telah matang dan saya mendapatkan giliran pertama. Hhmmm.. jadi terasa enak, mungkin karena saya yang bilang lapar maka saya yang mendapat bagian duluan.

Beranjak waktu Isya, semuanya bersiap menunaikan sholat Isya kecuali saya dan Puji. Karena kami sebelumnya telah menjamak sholat Maghrib dan Isya di satu waktu. Makan dan sholat telah selesai di lakukan, tapi kami belum juga memacking barang kami kembali. Ternyata Kang Rony membatalkan perjalanan kami selepas Isya. Selain hujan gerimis mulai turun, akan sangat merepotkan jika harus memacking kembali barang-barang kami. Karena rencana awal kami akan mendirikan tenda setelah kami mendaki kurang lebih satu jam dari curug yang sebelumnya di rencanakan di lakukan ba’da Isya. Supaya lebih dekat dengan puncak, menurut Kang Rony.

Sesuai instruksi Kang Rony selanjutnya, bahwa kami akan melanjutkan perjalanan pukul 01.00 malam, maka kami di suruh tidur terlebih dahulu agar kami tidak mengantuk saat mendaki nanti. Saya mengambil sleeping bag untuk menghangatkan badan, walaupun di sekitar curug udara tidak terlalu dingin. Kemudian puji menyusul saya memakai sleeping bag, karena baru pertama mendaki gunung nampak Puji masih asing dengan sleeping bag dan kurang memahami bagaimana cara memahaminya. Kami pun mengajari Puji cara memakai sleeping bag.

Saya dan Puji telah siap untuk tidur, sewaktu sekelompok pendaki lain datang sambil kehujanan kedalam warung. Karena belum merasakan ngantuk dan Kang Ardik menawari saya menelpon seorang kawan – Uni - saya pun asyik mengobrol hingga tak terasa waktu menunjukkan pukul 21.00. Karena Kang Rony terus menyuruh kami untuk tidur, akhirnya kami mencoba memejamkan mata meskipun udara terasa pengap karena bercampur dengan asap api unggun dan asap rokok. Saya melihat Puji sudah tertidur lelap di balik sleeping bag milik Kang Rony. Perlahan saya mencoba memejamkan mata, meskipun samar-samar suara kelompok lain yang berbicara menganggu pendengaran saya. Saya pun tertidur, walaupun setengah terlelap.

Minggu, 2 Oktober 2011

Pukul satu kurang, Kang Rony membangunkan saya dengan perlahan. Karena pelannya membuat saya malas dan tertidur kembali. Baru ketika di bangunkan untuk kedua kali saya benar-benar terbangun. Saya membangunkan Puji, Kang Rony membangunkan Kang Irman dan Kang Ardik. Ternyata Kang Rony sama sekali tidak tertidur malam itu. Sepanjang malam mungkin ia hanya mengobrol dengan kelompok pendaki lain yang sama-sama berasal dari daerah Jawa Barat juga.

Setelah semuanya bangun, kami langsung bergegas merapikan barang-barang kami. Hujan telah berhenti. Dengan sedikit rasa mengantuk yang masih menyergap, perlahan kami berjalan. Melewati aliran curug kemudian menanjak dan terus menanjak. Berbekal senter, masing-masing kami fokus memperhatikan jalan setapak yang kami lewati. Selepas curug, jalur yang kami lewati masih berupa tanah sampai kurang lebih satu jam kami berjalan. Di sebuah tanah datar kami beristirahat, disana terdapat sebuah batu besar. Kang Irman, Kang Rony dan Kang Ardik pun menaikinya dengan berbagai gaya bak Climbers. Lucu melihatnya. Kang Irman yang lincah, diikuti oleh Kang Ardik. Saya dan Puji hanya bisa tersenyum. Dikarenakan udara masih teramat dingin, saya pun mulai merasakan mual hingga akhirnya muntah. Ketahuan, bahwa saya memang tak kuat pada udara dingin. Puji memberikan saya minyak kayu putih untuk di balurkan ke leher saya. Masa istirahat tersebut di gunakan teman-teman untuk memakan snack yang kami bawa, tak lupa akang-akang pun merokok. Lagi dan lagi.

Kurang lebih setengah jam, kami bersiap untuk berjalan kembali. Dengan jalur yang masih sama, kami masih merayap dalam kegelapan di temani temaram cahaya senter. Trek tanah telah kami lewati, sekarang di hadapan kami adalah jalur terjal empat puluh lima derajat berupa pasir dan kerikil licin. Sungguh, merupakan suatu tantangan tersendiri untuk saya yang phobia terhadap ketinggian, namun karena hari masih sangat gelap saya pun belum merasa terganggu. Perjalanan malam ini saya di dampingi oleh Kang Ardik dan Puji oleh Kang Irman, sedangkan Kang Rony berada di bagian belakang mengawasi kami. Trek yang lumayan berat membuat saya selalu tertinggal dan kami pun berhenti beberapa kali untuk beristirahat. Pukul 05.00 kami kembali beristirahat cukup lama, pemandangan sudah sedikit terlihat dan saya mampu melihat trek terjal tersebut. Lumayan membuat saya merinding. Lima belas menit kemudian kami berjalan. Kang Irman dan Puji sudah melesat jauh di depan saya, beberapa kali mereka berusaha menunggui saya tapi tak pernah terkejar. Kang Rony pun akhirnya melewati saya dan Kang Ardik.

Hari sudah hampir siang dan kabut sudah mulai menghampiri kami. Setelah beberapa kali saya istirahat, akhirnya saya benar-benar drop. Ketakutan saya ternyata jauh lebih besar. Ketika melangkah di ketinggian itu kaki saya gemetar, terpeselet sedikit membuat saya tegang. Kang Ardik pun beberapa kali hampir terpeleset dan saya pula yang tegang. Kurang lebih satu setengah jam dari puncak, saya terdiam. Saya teringat belum melaksanakan sholat subuh, kata Kang Ardik masih ada waktu. Namun saya belum terlihat ingin beranjak dari tempat. Akhirnya saya menangis, saya sedih mengapa saya bisa memiliki ketakutan seperti ini dimana saya selalu merepotkan orang lain karena phobia tinggi saya ini. Di dalam hati saya berdoa untuk di beri kekuatan untuk dapat melanjutkan perjalanan atau berani untuk turun, tidak merepotkan orang lain. Beberapa saat saya masih terisak. Kang Ardik mengajak saya untuk melaksanakan sholat subuh berjamaah supaya saya tenang. Awalnya Kang Ardik mengajak saya untuk sholat menghadap ke puncak, yang kemudian langsung saya tolak. Jelas sekali saya tak akan berani. Menghadap kebawah saja saya masih di liputi ketakutan. Maksud Kang Ardik, dengan menghadap kepuncak supaya bisa melakukan sujud. Kang Ardik mengikuti kemauan saya untuk melaksanakan sholat dengan menghadap kebawah sambil duduk. Di awali tayammum, Kang Ardik memulai sholat subuh yang saya lakukan pukul 06.00 lewat namun matahari memang belum tampak. Masih dengan terisak saya mengikuti gerakan imam saya yaitu Kang Ardik. Setelah sholat, saya masih menangis. Kang Ardik mengajak saya untuk membaca Al Qur’an dan saya menurutinya. Masih dengan terisak saya perlahan membacanya. Hati saya masih belum tenang, hawa ketakutan masih berkecamuk dalam hati saya. Saya sempat berkata yang terdengar seperti menyalahkan Allah, mengapa saya begini, begitu takut akan ketinggian, selalu merepotkan, apakah memang saya tidak ditakdirkan untuk mendaki gunung atau saya yang salah hobi. Padahal merupakan satu kebahagiaan ketika saya dapat menikmati alamNya. Tak ternilai oleh apapun. Melihat kondisi saya seperti itu, Kang Ardik tak ingin memaksa saya untuk melanjutkan perjalanan. Kang Ardik pun selalu menyemangati saya ketika saya mulai mengatakan hal-hal buruk tentang diri saya. Ketakutan membuat saya tak berani berpindah tempat, selama satu jam lebih saya duduk di tempat yang sama.

Kang Ardik mengirim SMS kepada Kang Rony, bahwa saya sudah tak kuat melanjutkan perjalanan dan ingin turun. Kang Ardik ingin jika saya turun maka semuanya harus turun, kebersamaan katanya. Walaupun saya bilang, tak usah mereka turun, cukup saya dan Kang Ardik saja. Biar mereka melanjutkan perjalanan kepuncak. Saya tak ingin menjadi penghalang, ketika yang lain ingin mencapai puncak. Beberapa saat kemudian saya lihat Kang Rony datang menghampiri kami tanpa membawa carrier. Berbicara sebentar, Kang Rony mengatakan untuk apa saya diam saja. Perkataannya membuat saya sedih, saya ketakutan tapi Kang Rony tak mengerti. Lalu Kang Rony membujuk saya untuk melanjutkan perjalanan. Tinggal sebentar lagi katanya. Rupanya kata-kata Kang Rony mulai menggamangkan niat saya yang semula ingin turun untuk melanjutkan perjalanan. Mungkin ini jawaban dari doa saya, fikir saya dalam hati. Mulai berjalan perlahan saya di tuntun Kang Ardik. Daypack saya di bawa oleh Kang Rony. Kata Kang Rony, jika saya berjalan perlahan pasti saya sudah sampai bukan hanya diam saja. Tapi kenyataannya saya masih ketakutan tadi. Setelah berjalan beberapa lama, saya melihat Puji melambaikan tangan menyemangati saya. Kang Ardik pun bertingkah lucu membalas lambaian tangan Puji. Saya hanya tertawa. Sementara itu Kang Irman terlihat menghampiri saya. Akhirnya saya pun di tuntun oleh Kang Irman di sebelah kanan dan Kang Ardik di sebelah kiri. Sambil tertawa di dalam hati, saya berfikir seperti nenek-nenek yang harus di tuntun ketika berjalan. Melewati setengah jam kurang, saya tiba di tempat istirahat yang kira-kira masih sekitar satu jam perjalanan dari puncak utama. Sepertinya perjalanan akan sampai di sini melihat kondisi saya yang tidak memungkinkan dan perbekalan kami yang tinggal sedikit. Inginnya saya meneruskan perjalanan namun tak ingin memaksakan kondisi saya. Sesampainya di atas saya langsung duduk. Kang Ardik, Kang Rony dan Kang Irman pergi ke bukit sebelah kiri kami istirahat. Tinggalah saya dan Puji yang mengobrol dan berfoto berdua. Sekembalinya akang-akang kecuali Kang Rony yang naik keatas. Ternyata dia membawa sekantong sampah yang di pungutinya dari atas. Di bawah Kang Rony langsung membakar sampah di bantu Kang Irman. Hanya dua jam setengah kami berada di sana. Setelah makan mie instan dan nasi, kami kembali merapikan barang-barang kami dan bersiap untuk turun. Sebelumnya kami telah melihat serombongan pendaki yang turun. Ada rasa takut kembali menyelinap, melihat ketinggian menimbulkan ketakutan saya.

Waktunya kami bersiap turun, Kang Irman telah berjalan duluan di susul oleh Puji. Saya maju mundur melihat trek untuk turun. Kang Ardik yang sudah mendahului saya terus menyuruh saya untuk turun tapi saya belum berani. Kang Rony bahkan bilang, biar saja saya mau menginap semalam lagi di sini. Akhirnya saya meminta Kang Ardik untuk naik kembali dan menuntun saya. Terdengar Kang Rony berkata, lain kali jika masih takut tinggi tidak usah naik gunung lagi. Saya pun menjawab, doakan saya biar saya tak ingin naik ke gunung lagi. Jujur, kata-katanya membuat saya sedih. Dengan sangat perlahan saya menuruni trek sambil memegang tangan Kang Ardik dan tasnya. Karena kengerian saya belum hilang, saya pun memilih untuk berseluncur menggunakan tangan saya sambil duduk. Lucu terasa dalam hati saya. Seperti orang lumpuh yang tak mampu berjalan. Daripada saya tidak turun-turun, lebih baik saya seperti itu. Di depan, saya pun melihat Puji melakukan hal yang sama di dampingi Kang Irman. Seperti biasa Kang Rony berada di belakang. Memang sebelumnya ketika di atas, ternyata Puji pun merasa ngeri untuk turun dan kami bersepakat untuk berseluncur.

Ketika di rasa medan sudah terasa enak, saya berdiri dan berjalan miring sambil tetap berpegangan pada Kang Ardik. Sayang, sandal yang saya pakai tak mendukung saya untuk berjalan. Jari kelingking kaki saya terasa perih tatkala melangkah. Lecet. Akhirnya bergantian saya berseluncur kembali. Karena kurang bisa melakukan teknis yang sesuai yaitu dengan bertumpu pada tangan dan kaki, saya hampir terperosot jauh kebawah jika saya tak memegang rumput. Saya pun meminta Kang Ardik untuk naik dan menahan saya agar tak tergelincir lebih jauh. Alhamdulillah ketakutan saya ketika itu hilang, karena memang di antara trek itu tak ada jurang. Berkali-kali Kang Ardik mengingatkan saya untuk mengikuti cara yang Puji lakukan dengan memegang rumput dan menahan batu dengan kaki tapi saya belum berhasil. Walhasil saya selalu seluncur bebas tanpa terkendali. Tapi Kang Ardik setia menemani saya.

Kembali, saya pun tertinggal oleh Puji dan Kang Irman kemudian Kang Rony yang juga berjalan mendahului saya. Saya sempat melihat Puji dan Kang Irman menunggu saya tetapi tidak lama karena kemudian saya lihat mereka tidak ada. Mungkin karena terlalu lama menunggu saya. Saat itu memang saya sengaja berjalan pelan, kaki saya mulai terasa sakit.

Saya dan Kang Ardik pun sampai di tempat kami istirahat pada malam tadi. Di mana terdapat batu besar. Yang lainnya sudah menunggu kami. Terlihat Kang Irman dan Kang Rony telah membersihkan diri di aliran curug Citiis. Saya dan Puji hanya duduk sambil mengobrol dan mendengarkan musik. Kami menolak ketika di tawari untuk bersih-bersih. Kami fikir tanggung, lebih baik nanti ketika tiba di curug. Akang-akang pun kembali berulah selayaknya climbers dengan berbagai gaya lucu. Saya pun diminta untuk mengambil gambar oleh Kang Ardik. Tak ketinggalan Kang Rony juga.

Tak lama kami pun melanjutkan perjalanan menuju curug, sesampainya di sana kami bertemu dengan sekelompok pendaki yang kami lihat tadi di atas. Mereka sedang bercengkerama. Kami pun masuk ke warung untuk beristirahat. Kang Rony dan Kang Ardik berwudhu dan menunaikan sholat ashar dan sholat zuhur. Saya dan Puji menunggu sekelompok pendaki tersebut pergi baru melaksanakan sholat berjamaah. Sambil beristirahat sebentar, minum kopi dan memakan snack kami mengobrol dengan bapak penjaga warung yang semalam warungnya kami pakai untuk menginap.

Ketika di rasa cukup, kami pun bersiap untuk kembali berjalan. Kondisi saya mulai membaik. Justru sebaliknya, kaki Puji sudah terasa sangat sakit. Perlahan kami berjalan. Bersama dengan dua pendaki lain. Saya pun sudah tidak tertinggal lagi. Posisi saya di depan Puji, ketika ia mencoba menyusul saya dengan sedikit berlari yang akhirnya Puji terjatuh dan membuat kakinya keselo. Bertambah sakitlah kakinya, meski sudah di bantu dengan kayu. Puji pun berjalan perlahan. Keluar dari area hutan, kembali kami melewati jalur penambangan pasir. Masih berdebu, karena aktifitas penambangan belum usai, padahal jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Kami kembali beristirahat di tengah jalur penambangan pasir di sebuah rumah. Kang Rony dan Kang Irman yang sebelumnya berjalan di depan di panggil oleh Kang Ardik untuk kembali. Kang Ardik pun memijit kaki Puji yang keseleo. Azan maghrib terdengar kami melanjutkan perjalanan. Saya meminta untuk tidak melewati jalur kebun dan minta di carikan jalan yang lebih mudah karena kaki Puji yang belum sembuh benar. Hari sudah gelap kami sampai di jalan raya meskipun bukan seperti jalan yang sebelumnya kami lewati ketika berangkat. Kami naik angkot menuju Tarogong (alun-alun) dan di lanjutkan naik delman hingga ke depan jalan menuju rumah Kang Rony.

Karena hari yang semakin malam dan saya tidak kuat untuk pulang ke Jakarta malam itu juga, saya memutuskan untuk menginap di rumah Kang Rony meskipun sebelumnya Puji menentang keputusan saya. Saya, Puji dan Kang Rony mampir sejenak di rumah Kang Ardik. Karena saya ingin sekali makan bakso, Kang Ardik mengantar saya ke tempat saudaranya yang kebetulan berjualan bakso. Hawa dingin menyelimuti kota Garut. Sangat dingin. Membuat mata saya mengantuk. Selesai makan, kami kembali kerumah Kang Ardik untuk mengambil barang kami dan berpamitan untuk pulang menuju rumah Kang Rony yang tidak jauh dari rumah Kang Ardik. Sebelumnya Kang Irman langsung pulang ke rumahnya tanpa sepengetahuan saya dan Puji.

Di rumah Kang Rony, kami menginap dan baru kembali ke Jakarta pada pukul 11.00 keesokan harinya.

Selesai.


Di buat tanggal 3-5 Oktober 2011, mengenang kebersamaan yang indah, semoga selalu berlanjut selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar