Hari ini dapat sebuah pelajaran. Sangat berharga sekali, khususnya untuk saya yang belum menikah. Mungkin di luar sana ada beberapa kasus serupa, tapi saya baru "ngeh" kali ini karena terjadi di depan mata saya.
Kasusnya seperti ini, si fulan yang telah menjalani kehidupan rumah tangga beberapa tahun. Sudah memiliki dua orang anak. Kehidupannya bisa di bilang sangat baik dari segi ekonomi dan hal lainnya. Tapi sayangnya, lama-lama saya amati ada hal yang mengganjal pikiran saya. Untuk menegurnya pun saya belum bisa, jadi untuk sekarang hanya cukup sekedar saya jadikan pelajaran.
Kenyamanan kehidupan si fulan saat ini masih campur tangan dari orangtuanya. Dia bekerja pada perusahaan milik orangtuanya yang seharusnya bisa bersikap profesional namun sayangnya hal tersebut belum mampu di tunjukkan untuk dapat di jadikan tauladan yang baik bagi karyawan lainnya.
Beberapa waktu lalu, saya mengetahui jika anak sulung si fulan mengalami diare yang parah hingga masuk ke rumah sakit. Tanpa ba bi bu lagi, fulan langsung mengabarkan kepada ayahnya. Tak ada yang salah. Hanya sebenarnya tak pantas merepotkan orangtuanya untuk permasalahan rumah tangga yang seharusnya bisa di usahakan sendiri dahulu secara maksimal. Karena pada saat ia menghubungi ayahnya, ayahnya sedang berada di luar kota untuk mengurus pekerjaan. Karena naluri ayah yang penyayang, otomatis ia pun langsung pulang ke Jakarta lebih cepat dari jadwal sebelumnya.
Kemudian, hal yang baru saja saya mengetahui dan membuat saya ngeh adalah ketika si fulan bermasalah dengan khadimatnya, dia bercerita lagi dengan orangtuanya. Otomatis lagi, orangtuanya langsung bertindak dan kerepotan pada akhirnya. Tapi yang namanya orangtuanya tak pernah merasa di susahkan oleh anak.
Dari kejadian tersebut bisa saya simpulkan. Ketika kita memasuki jenjang pernikahan, maka terputuslah urusan antara kita dengan orangtua. Jika sebelumnya kita berstatus anak yang menjadi awak penumpang yang di nakhodai oleh orangtua, maka ketika telah menikah kita adalah nakhoda. Jika dulu kita hanya mengikut saja kemana nakhoda itu mengemudikan kapalnya, maka peran kita sebagai nakhoda kini yaitu mengemudikan kapal kita sendiri. Kita sudah menjadi nakhoda yang memiliki tugas membawa anggota keluarga kita mengarungi bahtera luas menuju dermaga kebahagiaan. Ada saatnya ombak mengguncang kapal yang kita kemudikan, namun hal itu adalah salah satu resiko berlayar. Sebagai nakhoda kita harus memiliki tanggung jawab untuk bisa membawa penumpang berlayar kembali pada posisi aman dengan cara yang baik. Dengan mandiri, tanpa campur tangan orangtua. Jika memang mampu kita usahakan sendiri bersama pasangan.
Yang pastinya tampuk kepemimpinan kini adalah di tangan kita bukan orangtua. Tak apa jika kita meminta saran kepada orangtua tanpa membuat beliau risau. Usahakan jika yang terlihat oleh orangtua dan masyarakat adalah kebahagiaan rumah tangga kita. InsyaAllah bisa menjadi contoh yang baik
Orangtua yang telah lelah mengasuh kita sedari kecil hingga mengantar kita ke gerbang pernikahan, kehidupan kita yang baru. Lalu beliau masih di repotkan oleh urusan rumah tangga anak-anaknya. Saya pribadi tak ingin merepotkan orangtua saya ketika nanti menikah. Semoga Allah selalu meringankan kita dalam berbuat kebaikan.
Tulisan ini bukan bermaksud untuk menjudge pihak manapun, hanya ingin berbagi. Serta mengingatkan diri sendiri ketika nantinya melangkah menuju gerbang pernikahan. Paling tidak dengan belajar dan mengamati saat ini bisa menjadi bekal untuk saya nantinya. Bukankah baiknya kita membuka mata, telinga, fikiran dan hati kita lebar-lebar guna terus mengais hikmah dari setiap kejadian, supaya selalu ada hikmah yang bisa di ambil dan bisa menjadi rambu untuk berhati-hati dalam melangkah menuju masa depan.
29 Desember 2011
Kasusnya seperti ini, si fulan yang telah menjalani kehidupan rumah tangga beberapa tahun. Sudah memiliki dua orang anak. Kehidupannya bisa di bilang sangat baik dari segi ekonomi dan hal lainnya. Tapi sayangnya, lama-lama saya amati ada hal yang mengganjal pikiran saya. Untuk menegurnya pun saya belum bisa, jadi untuk sekarang hanya cukup sekedar saya jadikan pelajaran.
Kenyamanan kehidupan si fulan saat ini masih campur tangan dari orangtuanya. Dia bekerja pada perusahaan milik orangtuanya yang seharusnya bisa bersikap profesional namun sayangnya hal tersebut belum mampu di tunjukkan untuk dapat di jadikan tauladan yang baik bagi karyawan lainnya.
Beberapa waktu lalu, saya mengetahui jika anak sulung si fulan mengalami diare yang parah hingga masuk ke rumah sakit. Tanpa ba bi bu lagi, fulan langsung mengabarkan kepada ayahnya. Tak ada yang salah. Hanya sebenarnya tak pantas merepotkan orangtuanya untuk permasalahan rumah tangga yang seharusnya bisa di usahakan sendiri dahulu secara maksimal. Karena pada saat ia menghubungi ayahnya, ayahnya sedang berada di luar kota untuk mengurus pekerjaan. Karena naluri ayah yang penyayang, otomatis ia pun langsung pulang ke Jakarta lebih cepat dari jadwal sebelumnya.
Kemudian, hal yang baru saja saya mengetahui dan membuat saya ngeh adalah ketika si fulan bermasalah dengan khadimatnya, dia bercerita lagi dengan orangtuanya. Otomatis lagi, orangtuanya langsung bertindak dan kerepotan pada akhirnya. Tapi yang namanya orangtuanya tak pernah merasa di susahkan oleh anak.
Dari kejadian tersebut bisa saya simpulkan. Ketika kita memasuki jenjang pernikahan, maka terputuslah urusan antara kita dengan orangtua. Jika sebelumnya kita berstatus anak yang menjadi awak penumpang yang di nakhodai oleh orangtua, maka ketika telah menikah kita adalah nakhoda. Jika dulu kita hanya mengikut saja kemana nakhoda itu mengemudikan kapalnya, maka peran kita sebagai nakhoda kini yaitu mengemudikan kapal kita sendiri. Kita sudah menjadi nakhoda yang memiliki tugas membawa anggota keluarga kita mengarungi bahtera luas menuju dermaga kebahagiaan. Ada saatnya ombak mengguncang kapal yang kita kemudikan, namun hal itu adalah salah satu resiko berlayar. Sebagai nakhoda kita harus memiliki tanggung jawab untuk bisa membawa penumpang berlayar kembali pada posisi aman dengan cara yang baik. Dengan mandiri, tanpa campur tangan orangtua. Jika memang mampu kita usahakan sendiri bersama pasangan.
Yang pastinya tampuk kepemimpinan kini adalah di tangan kita bukan orangtua. Tak apa jika kita meminta saran kepada orangtua tanpa membuat beliau risau. Usahakan jika yang terlihat oleh orangtua dan masyarakat adalah kebahagiaan rumah tangga kita. InsyaAllah bisa menjadi contoh yang baik
Orangtua yang telah lelah mengasuh kita sedari kecil hingga mengantar kita ke gerbang pernikahan, kehidupan kita yang baru. Lalu beliau masih di repotkan oleh urusan rumah tangga anak-anaknya. Saya pribadi tak ingin merepotkan orangtua saya ketika nanti menikah. Semoga Allah selalu meringankan kita dalam berbuat kebaikan.
Tulisan ini bukan bermaksud untuk menjudge pihak manapun, hanya ingin berbagi. Serta mengingatkan diri sendiri ketika nantinya melangkah menuju gerbang pernikahan. Paling tidak dengan belajar dan mengamati saat ini bisa menjadi bekal untuk saya nantinya. Bukankah baiknya kita membuka mata, telinga, fikiran dan hati kita lebar-lebar guna terus mengais hikmah dari setiap kejadian, supaya selalu ada hikmah yang bisa di ambil dan bisa menjadi rambu untuk berhati-hati dalam melangkah menuju masa depan.
29 Desember 2011
Inspratif.. moga saya tidak termasuk katagori cerita diatas.. :)
BalasHapussalam.
Semoga saya juga ga gtu bang,,, :D
BalasHapusitu hasil pengamatan saya, biar nantinya tdk spt itu n biar bs di ambil manfaatnya jg u/ yg lain...
terima kasih sdh berkunjung..