Artikel

Yuk, Rapatkan Shaf ?

“Bunda, Fisa bingung nih.” Nafisa yang baru beranjak sembilan tahun menghampiri Bundanya yang sedang memasak.

“Ada apa sayang ?” Tanya Bunda sambil mengusap kepala putri tercintanya.

“Bunda selalu ajarkan pada Fisa dan abang Alqa. Kita harus merapatkan shaf ketika kita sholat..” Fisa terdiam.

“Benar sayang. Lalu kenapa ?” Bunda bertanya penasaran.

“Semalam waktu Fisa sholat berjamaah dimasjid ditempat perempuan, Fisa lihat shafnya amat renggang Bunda. Waktu Fisa minta untuk merapatkan shaf, mereka tidak menghiraukan perkataan Fisa.” Fisa menjelaskan sambil merengut.

“Memang Fisa bilangnya gimana ?”

“Begini Bunda. Ibu shafnya rapatkan ya, biar syaithan tidak ikut sholat bersama kita. Ibu merapat ke Fisa ya.”

“Ibunya jawab apa sayang ?”

“Tidak jawab apa-apa Bunda. Dia hanya bergeser amat sedikit. Itu saja. Fisa lihat sajadahnya amat lebar, cukup untuk dua orang tapi itu digunakannya sendiri. Yang disebelahnya pun seperti itu. Berdiri berdasarkan sajadahnya masing-masing, tidak peduli meski dikiri kanannya masih longgar sekali….”

“… Fisa bingung Bunda. Fisa sudah berusaha memberitahu tapi tetap seperti itu. Bagaimana ya Bunda ?” Fisa terlihat serius.

Bunda yang menyadari bahwa putri tercintanya sudah mulai kritis terhadap apa yang dilihatnya, berusaha dengan bijak untuk memberikan jawaban yang bijaksana.

“Fisa sudah cukup memberitahukan suatu kebenaran jika menurut Fisa ada yang salah. Selebihnya adalah kuasa Allah untuk membukakan pintu hati orang-orang yang sudah Fisa beritahu agar mengikuti kebenaran yang Fisa tunjukkan…”

“…Untuk masalah sajadah. Memang hal tersebut menjadi masalah serius yang belum juga terpecahkan hingga saat ini. Bisa jadi belum semua tahu, jadi perlu ada yang memberitahu. Jadi yang dirapatkan itu bukan sajadahnya masing-masing, melainkan tubuh mereka yang berdiri berjejer dirapatkan dan diluruskan dengan yang disebelahnya. Ibaratnya, abaikan saja adanya sajadah itu. Tidak perlu berlomba-lomba dengan sajadah yang indah dan megah, namun mengurangi kekhusyu’an dalam sholat dan membiarkan syaithan berada dalam barisan sholat.”

“Oh iya. Haditsnya apa Bunda yang mengharuskan kita merapatkan shaf ketika sholat ?”

Dari Anas bin Malik -radhiallahu Ta’ala anhu- dari Nabi -alaihishshalatu wassalam- beliau bersabda:
“Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya meluruskan shaf termasuk kesempurnaan sholat”.
(HR. Muslim no. 433)

Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar -radhiallahu Ta’ala ‘anhuma- beliau berkata : Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda :
“Luruskan shaf-shaf kalian karena sesungguhnya kalian itu bershaf seperti shafnya para malaikat. Luruskan di antara bahu-bahu kalian, isi (shaf-shaf) yang kosong, lemah lembutlah terhadap tangan-tangan (lengan) saudara kalian dan janganlah kalian menyisakan celah-celah bagi syaithan. Barangsiapa yang menyambung shaf, niscaya Allah akan menyambungnya (dengan rahmat-Nya) dan barangsiapa yang memutuskannya, maka Allah akan memutuskannya (dari rahmat-Nya)”.
HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’iy dan lainnya. Dishohihkan oleh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (743)

“Itu beberapa hadits yang menyatakan penting merapatkan dan meluruskan shaf ketika sholat nak.”

“Kesempurnaan sholat itu bisa dilihat dari shaf yang lurus dan rapat ya Bunda ? Subhanallah.” Fisa tersenyum lebar.

“Tapi kalau kita memutuskan shaf, Allah akan memutuskan rahmatNya. Astaghfirullah.” Fisa tiba-tiba bersedih.

“Putri Bunda sudah semakin cerdas. Sabar ya sayang. Jika kita belum bisa merubah orang lain, minimal bisa kita mulai dari diri kita sendiri.” Hibur Bunda.

“Jangan lupa jika Fisa sholat bersama dengan kawan-kawan Fisa sekalian diingatkan juga ya. Kakinya dibuka lebar dan dirapatkan serta bahu dan lengannya juga. InsyaAllah jika niat kita baik. Allah pasti akan membantu kita.”

“Iya Bunda. InsyaAllah. Semoga dari shaf yang rapat saat sholat juga bisa dilakukan ketika melakukan kebaikan. Bersama-sama merapatkan diri ya Bunda ?”

“Iya sayang. Yuk, bantu Bunda masak untuk berbuka puasa.”

“Oke deh Bunda.”

-Allahua'lam-

Diujung Jalan Cahaya

Seakan bendera putih terkibar
Ketika abu-abu menggerayangi kalbu
Terhenti sejenak nafas ini
Menyelusuri bias asa

Kawan dan lawan berderet mesra
Berbisik mesra mendayu
Diujung jalan cahaya termangu
Langkah terpaku oleh jeruji

Inikah pertanda ?
Semua hanya titik-titik tanpa arti
Dan belum berarti

Semisal keinginan kian nyata
Sedang dulu tiada berkata
Ketika Tuhan menjadi utama
Lainnya adalah fana

Kontaminasi hati sedang membumi
Geliat nafsu mengebiri kini
Rabbighfirlii

Asa Tersisa

Pernah berjibaku dengan lesu
Ketika menghampiri tanpa aku
Raga bak terjepit dilorong kaku
Ingin lenyap

Duniaku hanya berisi abu-abu
Sejenak mekar kemudian layu
Hambar menjamah pada nuansa
Tiada kata pengobar makna

Serasa asa tak pernah ada
Hanya tersisa sebait doa
Dalam batas yang tak terbatas
Tetap menyebut dan mengadu

Allah, memang kau selalu ada
Dalam khayal dan nyataku
Dalam ada dan tiada
Dalam segenap lakuku

Allah, kau sisakan ruang dibilik hati
Yang jika kesal menyeruak
Maka sekeping sabar menjadi benteng
Menunggu saat Kau hadirkan hikmah
Sejenak atau beberapa jenak

Segala Puja Puji kehadiratMu Allah
Tiada daya dan upaya tanpaMu
Sebagai sumber kekuatan
Hanya kepadaMu aku menyembah
Hanya kepadaMu aku meminta pertolongan
Rabbighfirlii

Yang Terdekat Dengan KIta

Saya yang terkadang lalai, terhanyut akan warna warni dunia yang terasa akan selamanya ada padahal tidak lebih hanya sekejap mata. Rabb, lembutkan hati kami untuk terus mengingat mati. Mengingat kampung halaman kami yang abadi. Keindahan yang hakiki bukan hanya polesan alakadarnya.


http://catatanpenaniven.blogspot.com

Pagi ini tepat pukul delapan, saya mendapat telpon dari seorang kawan. Yang saya tahu sudah beberapa hari ini ayahnya sedang dirawat di Rumah Sakit dan sudah membaik setelah sebelumnya sempat tidak sadarkan diri karena terkena penyakit Stroke Ischemic

"Assalamu'alaikum". Sapa saya kepada kawan yang menelepon.
"Wa'alaikumsalam". Jawabnya.

Sejenak tak terdengar kata, hanya isak tangis yang sangat jelas. Firasat saya mulai tidak enak, tapi tidak ingin mendahului. 

"Kenapa Ji ?". Tanya saya dengan masih diwarnai isak tangis dari kawan.
"Bokap gw ting...." Katanya dengan suara terputus.
"Iya, bokap lo kenapa ?". Tanya saya kembali.
"Bokap gw udah ga ada.".

Deg.
Tiada respon dari saya, hanya lirih berucap Innalillahi Wainnailaihi Raaji'uun. Hati saya terlebih dahulu menangis yang kemudian airmata saya seketika keluar.

"Udah gitu ajah ya ting. Assalamu'alaikum".  
"Wa'alaikumsalam". 

Tidak menyangka sebelumnya. Tiga hari yang lalu saya mengunjungi bapak kawan saya di Rumah Sakit (meskipun tidak sempat bersua karena sudah lewat dari jam besuk), kawan saya menceritakan bahwa kondisi bapaknya lebih baik dan dua hari yang lalu hingga kemarin saya bertanya mengenai keadaan bapaknya, kawan saya selalu terlihat sumringah karena keadaannya semakin membaik. Namun ternyata Allah Yang Maha Berkuasa atas segalanya memiliki kehendak lain. 

Bermula dari seminggu yang lalu, ketika kawan saya merasakan keanehan pada bapaknya. Tiba-tiba bapaknya tanpa terkontrol buang air kecil dicelana dan ketika diantar kekamar mandi mendadak kakinya lemas. Saat ditanya, bapaknya mengatakan dia baik-baik saja. Kawan saya pun tidak menanggapi kejadian itu dengan serius, hanya berencana akan membawa bapaknya kedokter pada sore harinya. Namun sebelum dibawa kedokter, kondisi bapaknya memburuk. Tidak hanya kakinya yang melemas tapi seluruh badannya sehingga harus diangkat oleh beberapa orang. 

Sepulang dari dokter (dokter umum yang sepertinya tidak memahami penyakit yang lebih spesifik) keadaan tidak semakin membaik. Keluarga dihubungi guna meminta bantuan do'a bagi kesembuhan bapak . Para tetangga berdatangan memberikan support.

Selang satu hari, ketika keadaan bapak tidak semakin membaik, keluarga memutuskan membawanya ke Rumah Sakit. Sempat menunggu beberapa saat karena kamar yang dituju penuh dan harus mengantri, akhirnya bapak ditempatkan di ruang HCU (High Care Unit). Setelah ditempatkan di ruang HCU, bapak sempat tidak sadarkan diri. Keluarga terus memberikan dukungan dengan mengucapkan hal-hal yang baik  dekat telinga bapak. Hingga satu hari setelah dirawat, kondisi bapak membaik, sudah bisa membuka mata, memperhatikan sekitar dan latihan memakan agar-agar karena sebelumnya mulutnya ikut kaku. Ditambah banyaknya keluarga dan kerabat yang berdatangan mengunjunginya. 

Kemudian sehari sebelumnya bapak wafat, ada seorang penjenguk yang berkata kepada kawan saya. "Tabah dan banyak berdo'a saja ya". Kalimat itu dikeluarkan karena melihat perubahan yang cukup "aneh", dari yang kondisinya drop kemudian berubah membaik seketika setelah keluarga dan kerabatnya datang. Seolah ingin mengisyaratkan bahwa kematian akan datang menjemputnya dan perubahan kondisinya hanyalah sekedar cara untuk menyenangkan para kerabatnya. Kalimat itu menjadi beban fikiran kawan saya, hingga ia meminta dukungan kepastian kepada saya bahwa bapaknya bisa sembuh seperti sediakala dan perkataannya penjenguk itu tidak benar. Saya yang memang tidak tahu kapan kematian itu akan datang, berusaha menghibur dan menyemangati kawan saya yang sedang berduka. 

Sampai tadi pagi saya mendapat kabar wafatnya bapak, cukup mengejutkan saya. Kata abang saya, ketika saya menceritakan mengenai perkataan si penjenguk, menurutnya memang biasa seperti itu. Hal itu juga dialami ketika nenek saya yang sakit parah tiba-tiba kondisinya membaik namun tidak lama kemudian wafat. 

Berbagai macam cerita mengenai kematian, bahwa sesungguhnya kematian adalah mutlak rahasia Allah Ta'ala yang tiada seorangpun mengetahui kapan dan dimana dia meninggal.

Ya Allah, matikanlah kami dalam keadaan khusnul khatimah dengan menyebut nama-Mu.