Artikel

Keremangan Dalam Hati

Membaca sebuah buku yang berjudul “JACK DAN SUFI”, banyak hal yang selama ini tak teramati oleh mata hati saya.

Sebuah buku sederhana yang ternyata memiliki pelajaran yang luar biasa. Tentang seorang yang bernama Jack, seorang kyai yang memiliki ilmu agama yang luas serta memiliki pesantren, namun ia melepas atribut kyiainya untuk terjun langsung berdakwah ke dunia yang amat sangat jarang tersentuh tangan-tangan dakwah. Dunia remang-remang. Ia datang ke Ibukota, pusat dunia remang-remang Jakarta. Ia ganti jubah dan surbannya dengan jeans lusuh dan kaos belel.





Ia memilih mendatangi dunia remang-remang bukan tanpa sebab. Kenapa ia tak memilih dunia panggung untuk berdakwah, bertaushiyah dari majelis ke majelis, di hormati dan di segani. Karena ia rasa, lahan itu sudah sangat banyak peminatnya, sedangkan dunia remang-remang dimana kemaksiatan bertumpuk, belum menjadi objek prioritas dakwah. Sedangkan mereka pun hamba Allah yang memiliki hak untuk merasakan setitik cahayaNya. Dunia remang-remang dengan banyaknya gelandangan, pengemis, pelacur, koruptor dan mereka yang termarjinalkan dari tangan tangan-tangan pendakwah dan memiliki stigma negatif di masyarakat.

Ia melihat bahwasanya bisa jadi Allah memberikan kemuliaan kepada mereka yang kini berada dalam dunia remang-remang di banding kita yang saat ini menyadari bahwa kita lebih mulia di banding mereka.

Bisa jadi akhir kehidupan mereka jauh lebih mulia di banding kita yang merasa suci. Karena Allahlah penggenggam takdir hamba-hambaNya. Tiada yang tahu akhir hidup serta masa depan setiap hamba. Mungkin saja ada seorang pelacur yang memang Allah takdirkan berada di posisi hina tersebut tapi sebenarnya jiwanya tak pernah melacur bahkan hati dan jiwanya hanya ditujukan untuk Allah semata.

Bisa jadi dunia remang-remang hadir pada diri kita, ketika jasad kita menyembah Allah namun hati kita tetap menduakanNya.

Tak ada yang pernah tahu, mengapa seseorang menjadi siapa. Seseorang yang pernah mengecap pahitnya kemaksiatan, maka akan sanggup mengecap manisnya iman. Karena Allah menakdirkannya bersentuhan dahulu dengan maksiat untuk lebih menghargai makna iman dan kenikmatan islam. Tapi jika kita ingin mengecap manisnya iman dan sengaja ingin menjajal kemaksiatan. Maka itu bukanlah skenario Allah namun bisikan hawa nafsu.

Kita seringkali terpedaya oleh pakaian yang menggambarkan keshalihan tanpa pernah memandang hati dan jiwa. Dan tak jarang kita terperangkap pada mindset keburukan melalui kecompangcampingan pakaian serta kumuhnya suatu tempat. Astaghfirullah.

Buku tersebut banyak mengajarkan tentang bagaimana sepatutnya kita berbaik sangka kepada Allah. Apapun yang Allah ciptakan, bagaimanapun kondisi seseorang saat ini, bukanlah sebuah akhir yang bisa menggambarkan baik atau buruk seseorang.

Kita, yang kini berada zaman penghambaan terhadap berhala hawa nafsu. Kita malu berbuat sesuatu karena kita takut di nilai buruk oleh manusia. Bagaimana pejabat yang merasa kuatir di akhir kepemimpinannya karena jabatannya akan segera berakhir dan tak ada lagi kekuasannya untuk melakukan sesuatu. Bagaimana kita masih saja tak yakin akan takdir kita padahal Allah telah menetapkan sebaik-baik takdir kepada hambaNya.

Hawa nasfu yang kini mengekang jiwa-jiwa kita untuk menatap masa depan. Nafsu pada kekuasaan, nafsu akan penilaian manusia, nafsu akan banyaknya harta dan sederet hawa nafsu duniawi lainnya.

Tak yang patut di pasrahi kecuali Allah. Allah bisa saja cemburu dengan cara kita yang bergantung kepada selainNya. Karena memang Allah maha pencemburu. Allah cemburu ketika kita mengejar dunia. Allah cemburu ketika kita lebih takut pada atasan di banding denganNya. Allah cemburu ketika kita lebih memperhatikan penilalian manusia di banding penilaian Allah.

Allahu Rabbi, berikan kemampuan kepada kami untuk selalu beristighfar kepadaMu. Semoga istighfar itu menjadi kunci pembuka pintu ampunanMu. Aamiin.


Allahua’lam.

4 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar