Artikel

My Name Is Qila

Namaku Qila. Aku adalah sulung dari dua bersaudara. Kedua orangtuaku berasal dari Surakarta. Kini aku tinggal bersama orangtua dan adikku satu-satunya di kawasan Jakarta yang lumayan bisa di bilang padat. Tapi aku senang, karena rumahku berdekatan dengan rumah saudara-saudaraku (sepupu, bule, bude dan lainnya). Jadi tetanggaku adalah saudaraku. Ketika terjadi suatu persoalan, maka aku bisa meminta bantuan saudara-saudaraku untuk memberikan masukan bagaimana penyelesaian atas masalah yang aku hadapi.

Usiaku dua puluh lima tahun. Usia yang sudah cukup pantas untuk menikah, tapi kenyataannya aku  masih juga sendiri. Teman-teman seusiaku sudah banyak yang telah menikah bahkan sudah mempunyai anak. Hal itu sering membuatku resah, di tambah orangtuaku yang sering menanyakan kapan aku menikah. Tapi aku cukup lega karena ada saudara perempuan sepupuku yang lebih tua tiga tahun tapi belum juga menikah. Tidak terlalu menyesakkan dada. Yah, meskipun dia sudah memiliki pacar sedangkan aku tidak. Bukan aku tidak laku atau terlalu pilih-pilih, tapi karena aku memang tidak ingin berpacaran lagi. 

Mungkin keputusanku untuk tidak berpacaran lagi adalah hal yang mengejutkan bagi teman-temanku. Bagaimana tidak, mereka yang tahu aku adalah penganut sistem pacaranisme setengah terkejut dan tidak percaya. Apalagi sewaktu aku bilang jika aku akan menikah tanpa berpacaran.

Sebenarnya untuk aku sendiri, pacaran tanpa menikah masih menjadi hal yang aneh. Menikah tanpa pacaran ?  Seperti beli kucing dalam karung, itu yang ada dalam fikirku. Tapi hal tersebut mampu di sanggah oleh temanku, sebut saja namanya Almas. Dia seperti mencuci otakku untuk tidak lagi pacaran. Sedikit aneh, karena dia juga belum menikah, tapi dia yakin dengan teori menikah tanpa pacaran walaupun pada prakteknya dia belum melakukannya. Dia pernah bilang, bahwa jodoh adalah rahasia Allah dan janji Allah bahwa yang baik akan mendapatkan yang baik pula. Yang penting sabar dan yakin. Doktrin itu sedikit banyak mampu mengubah persepsiku mengenai pacaran. Memang sebelumnya aku sudah merasakan betapa jenuhnya berpacaran. Banyak kesia-siaan yang aku rasakan, padahal aku tahu pacarku belum tentu menjadi jodohku kelak. Dan setelah aku berpacaran dengan dengan pacar terakhirku, sejak itu aku tidak lagi berpacaran. Meski kadang ada keraguan terbersit dalam hatiku mengenai jodoh, maka berkali-kali pula aku berusaha untuk menepis keraguanku itu. Setiap orang di ciptakan berpasang-pasangan, aku yakin itu.

Entah karena aku sudah terpengaruh dengan janji Allah bahwa seseorang yang baik pasti akan mendapatkan pasangan yang baik pula, maka kini aku sudah merubah penampilanku. Alhamdulillah aku sudah mulai berjilbab. Setelah mengalami fase kegamangan yang cukup panjang. Berdiskusi kesana kesini. Akhirnya aku memutuskan untuk berjilbab. It's amazing. Skenario Allah untuk merubahku menjadi lebih baik, semoga hati dan sikapku juga mengikuti penampilan menjadi lebih baik. Aamiin.

Ternyata pertama kali berjilbab tidak membuatku risih, justru aku merasa biasa saja. Padahal kekhawatiranku sebelum memutuskan untuk berjilbab sangat banyak. Aku takut di anggap sok alim, aku takut jika sikapku nanti tidak mampu mengimbangi jilbabku dan banyak lagi kekhawatiranku lainnya. Maklum saja, aku berada dalam satu lingkungan pergaulan yang kadang belum bisa menerima suatu perubahan positif terjadi.  Alhamdulillah, Almas kerap kali menyemangatiku untuk berjilbab. Dan aku semakin yakin untuk berjilbab.

Jika aku dulu seperti terkungkung pada dunia kerjaku yang itu-itu saja. Tiap hari bekerja dan bertemu dengan orang-orang yang sama. Monoton  dengan teman-teman yang kurang menyenangkan atau dalam artian hanya bisa bersenang-senang tanpa bisa berfikir masa depan. Aku sempat tenggelam dalam dunia itu. Acapkali hati dan sikapku berseberangan. Apa yang aku lakukan semua seperti keterpaksaan. Menerima ajakan teman untuk bersenang-senang karena tidak enak hati bila menolak.

Lagi dan lagi, aku ucapkan Alhamdulillah. Sekarang aku bisa membuka mata, hati dan telingaku lebar-lebar. Aku sadar, bahwa dunia begitu luas. Banyak kisah di dalamnya yang bisa aku renungkan. Cukup hanya dengan menyediakan lebih banyak waktu untuk melihat, merasa dan mendengar kemudian di resapi maka semua hal bisa menjadi suatu pelajaran. Aku tidak hanya menyalahkan keadaan tapi aku mencoba mengambil hikmah dari suatu kejadian, termasuk teman-temanku. Ketika dulu banyak kata-kata motivasi hanya berseliweran tanpa aku hiraukan, maka kini kata-kata itu mampu membangkitkan semangatku untuk bisa berfikir dinamis.

Oleh teman-teman, aku di kenal "si tukang nyengir". Karena hampir dalam kondisi apapun selalu aku hadapi dengan "nyengir". Bahkan ketika aku mendapat omelan dari atasan di tempatku bekerja, maka "nyengir" adalah jurus andalanku. Meskipun banyak orang yang melihatku aneh. Di omelin kok malah senyum-senyum saja. Aneh mungkin, tapi paling tidak dengan begitu aku bisa membuat suasana tidak menyeramkan. Dan hal itu sedikit banyak  membuatku tidak terbebani oleh masalah yang hadir.

Aku juga terkenal oleh teman-temanku sebagai seseorang yang plin-plan. Hhmmm. Iya juga kalau aku pikir. Aku kadang lebih banyak berfikir daripada membuat tindakan. Hal itu kerap membuat orang di sekitarku kesal. Sering aku geram dengan diriku sendiri, tapi apa mau di kata, aku hanya bisa berusaha merubahnya secara perlahan.

Sebagai seorang wanita, aku mempunyai sifat wanita sekali yaitu "cerewet". Kalau aku sedang berbicara seperti kereta api Taksaka yang melaju terus tanpa berhenti (kecuali di stasiun tertentu). Aku bisa jadi pembicara yang hebat kalau sedang mengobrol dengan teman-temanku. Walhasil teman-temanku hanya menjadi pendengar yang baik saja. Aku juga sangat terbuka akan semua hal pada teman-temanku. Walaupun sering di ingatkan untuk tidak terlalu terbuka, tapi aku masih saja seperti itu. Usaha, usaha dan usaha jadi lebih baik. Yess.. InsyaAllah.

Di balik kecerewetanku, ada teman yang  bilang "kenapa tidak jadi penyiar radio saja ? udah pas sama cerewetnya." Aku hanya tersenyum. Benar atau tidak, mungkin karena faktor tahi lalat yang ada di bibirku. Kata orang, itu menandakan bahwa aku bakat cerewet. Semoga saja apa yang aku katakan selama ini tidak sampai menyinggung perasaan orang lain.

Untuk yang satu ini bukan kataku loh ya, tapi kata temanku. Suatu saat ketika aku iseng-iseng menggambar objek yang aku contoh dari sebuah koran, ada teman yang bilang bahwa aku berbakat menggambar. Senangnya aku mendapat apresiasi atas karyaku, meskipun bisa di bilang hanya sebuah coretan menurutku. Tak apalah, biar ini menjadi hobiku saja, yang aku lakukan saat aku penat.

Aku juga suka menulis. Tapi jangan sebut aku penulis. Karena aku baru sekedar menulis di catatan facebook. Semua hal yang aku anggap memiliki hikmah, aku coba menuangkannya ke dalam sebuah cerita. Belum banyak, tapi bisa membuatku takjub sendiri kala membacanya ulang. Seperti tidak percaya, bahwa aku bisa membuat tulisan seperti itu. Bagiku menulis merupakan sarana pelampiasan emosi atas apa yang kita rasakan. Misalnya ketika sedang kesal atau marah. Tuangkan saja kedalam tulisan, kemudian di olah hal positifnya. Hingga nantinya, selain kita terhindar dari keluhan berlebihan, kita juga bisa menularkan manfaat justru dari sebuah kemarahan. It's amazing right ??

InsyaAllah, semoga untuk kedepannya aku bisa bermanfaat minimal bagi orang-orang terdekatku dan terlebih untuk semua orang.

Barakallahufiikum.

-Sepenggal Cerita Kawan-

2 komentar:

  1. Balasan
    1. :D bagian mana nih ?? itu kisah kawan saya,,, moga bisa di ambil hikmahnya,,
      terima kasih ya,,,

      Hapus