Pekat malam bergelimang
Namun di sana terang senantiasa benderang
Menaungi hilir mudik ayunan langkah
Mengarungi udara dan debu
Malam itu, stasiun Tugu Jogjakarta
Yang tetap pada kemegahannya
Iringan kereta menggesek panas rel tua
Menciptakan irama bak penyanyi tua
Malam itu, di sudut dinding kelu
Suara-suara membahana pada suatu ruang
Dan membisu di ruang lainnya
Ibu tua penjual nasi bungkus duduk termangu
Serak suara di antara liur yang tersisa
Memanggil orang sekedar untuk mendekat
Menukar lusuh uang kertasnya
Dengan sebungkus nasi buatannya
Dan di malam itu
Setelah langit puas mencurahkan air rahmatnya
Dan ibu masih tergugu
Lantang suaranya kian parau
Orang lalu lalang
Namun siapa yang akan menolehnya
Sibuk kesana sibuk ke sini
Sedang di sana sini
Restoran asing tetap selalu mengindahkan mata
Di malam itu
Ketika sebuah kisah terjalin
Ibu Tua Penjual Nasi Bungkus
Sendiri di alam sunyi
Tiada yang memanggilnya istri
Tiada yang memanggilnya ibu
Alam adalah sahabatnya
Dan malam adalah perjuangan
Sehelai demi sehelai rupiah berharap di raihnya
Untuk bekal esok menatap mayapada
Oh, ibu Tua Penjual Nasi Bungkus
Hanya di sini kaki berpijak
Sementara khayalanmu menyibak tirai batas
Udara di sini mungkin bukan tempat ternyaman
Tapi udara di sana menjadi asing
Dan tak tersentuh
Oh, ibu Tua Penjual Nasi Bungkus
Matamu terus berkaca-kaca
Entah ada apa di sana
Apakah sejumput rindu telah tertanggung ?
Atau engkau sedang menahan segunung asa ?
Ku faham inginmu bu..
Oh, ibu Tua Penjual Nasi Bungkus
Bersabarlah menatap dunia
Seperti kau sabar berjuang untuk hidup
Masa mudamu yang kau tukar dengan ketekunan
Mungkin aku tak bisa setangguhmu
Mengurutkan tahun menjadi puluhan
Dan kau bertahan di sini
Sejak tiga puluh tahun yang lalu
Oh, ibu Tua Penjual Nasi Bungkus
Citamu telah di genggam Tuhan
Bersabarlah
Bertawakkallah
Segera, kini atau nanti
Asa-mu akan kau raih
23 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar