“Bang, pinjam uang donk.” Rengek Fath pada abangnya, Fathir.
Abangnya yang memang saat itu sedang menghitung uang gajinya, seketika terkejut.
“Hah ? Pinjam uang ? Yang benar saja Fath. Kamu kan baru kemarin juga terima gaji. Masa hari ini mau pinjam uang.” Jawab Fathir dengan beragam tanya terlontar.
“Hehehe. Maaf bang, kemarin Fath khilaf. Pulang kerja langsung pergi ke Mall sama teman-teman. Makan-makan, nonton terus belanja. Tidak sadar ternyata uang gaji Fath tinggal separuh. Dan Fath belum membayar cicilan motor bulan ini.” Fath memberikan penjelasan dengan rasa bersalah.
“Hhmm… “ Fathir geleng-geleng kepala mendengar penuturan adiknya.
Selama ini, memang adik kembarannya adalah sosok yang gampang berbaur di tempat kerjanya. Tapi jeleknya, Fath tidak pernah bisa menolak ajakan kawan-kawannya untuk pergi kesana sini yang ia tahu membutuhkan uang banyak. Sedangkan kini, Fath baru dua bulan bekerja. “Tidak enak bang, menolak ajakan kawan” Begitu alasan Fath, tiap kali Fathir memberikan nasehat untuk mengurangi tindakan borosnya.
*****
Di tempat lain.
“Pak, yuk kita makan steak yang terkenal enak itu.” Ajak Pak Angga pada rekan kerjanya Pak Sapto.
“Sebentar ya saya mau ke dalam dulu.” Sahut Pak Sapto bergegas ke ruang kerja untuk mengambil sesuatu.
“Yuk, Pak Angga.” Sejurus kemudian Pak Sapto muncul di ikuti oleh Pak Angga yang sudah siap dengan kunci motor di tangannya.
Nahla yang melihat kejadian itu hanya bisa mengelus dada. Hari itu adalah hari gajian karyawan di perusahaan tempat Nahla bekerja. Belum satu jam Nahla membagikan uang gaji dan seperti biasa, hari gajian di ibaratkan seperti hari mendadak kaya sedunia. Ingin ini, ingin itu seolah semua ingin di beli. Yang Nahla tidak habis mengerti, uang yang tidak seberapa itu sangat tidak betah berada di tangan pemiliknya. Ada saja keinginan yang membuat uang itu lenyap seketika.
Menginjak minggu kedua atau ketiga, keluhan datang bergiliran memenuhi ruang kantor. Keluhan mengenai uang yang habis, padahal tanggal gajian masih jauh. Dan kemudian Nahla juga yang sering “di todong” untuk meminjamkan uang kas perusahaan.
*****
Mungkin cerita di atas bisa jadi refleksi saya pribadi atau kawan-kawan lainnya. Yang bekerja dan mengandalkan uang gajian guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tidak ada yang salah jika kita menggunakannya secara bijak, memposkan uang sesuai kebutuhan. Bukan seperti orang yang berpuasa lalu kalap melihat makanan banyak di depan mata tatkala azan maghrib berkumandang.
Masa kita sebagai pegawai masih ada sebulan kedepan untuk mendapatkan kembali hak kita berupa gaji. Bukan waktu sebentar ketika uang yang ada di kantong semakin menipis sedang kebutuhan untuk biaya sehari-hari tidak bisa di tunda. Akibatnya hutang menjadi pilihan.
Baiknya kita terlebih saya, tetap menjadi pribadi yang sedang-sedang saja. Bukan yang mendadak menjadi “kaya raya” pada saat gajian, kemudian beberapa hari saja mendadak menjadi “miskin” karena tidak ada uang. Sedang-sedang saja. Mengendalikan nafsu pada saat ada atau tidak adanya uang. Menggunakan uang secara bijak sesuai kebutuhan bukan keinginan. Karena bukan terlihat dari jumlah besar uang yang membuat seseorang pantas di berikan predikat “kaya” tetapi dari seseorang mampu bersikap sederhana, merasa cukup dan bersyukur. Hidup sederhana tanpa hutang jauh lebih menenangkan di banding memiliki segalanya tetapi hutang di mana-mana. Karena lebih baik menabung untuk kebutuhan yang terduga atau untuk kehidupan di masa depan (akhirat) di banding menabung di pusat perbelanjaan, rumah makan dan lainnya. Sesekali mungkin tidak apa tapi bukan menjadi suatu rutinitas yang dapat menghabiskan uang secara sia-sia.
Allahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar