Artikel

Ciharus, Keindahan Yang Tersembunyi


Hari Sabtu tanggal 16 Juni 2012, kembali kaki ini  melangkah di Kota tercinta Garut. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Kota yang amat terkenal dengan penganan dodolnya sekitar tiga tahun lalu, Garut mempunyai kesan tersendiri dihati saya.

Garut bukan kota yang dipenuhi banyak mall, juga bukan Kota yang berpenduduk padat. Garut bukanlah kota metropolitan dengan segala kemewahan dan warna warninya. Justru itulah yang membuat saya jatuh cinta pada pijakan pertama. Garut yang sebelumnya tidak terlalu menjadi perhatian saya, kemudian menjadi salah satu Kota kenangan.

Dan Garut menurut saya adalah kota dengan sejuta keindahan alam. Coba kunjungi kota Garut dari atas ketinggian, maka akan kau temui disetiap ujung sisi kota Garut adalah hamparan biru laut yang melingkar dan warna hijau pegunungan yang seolah memeluk sejuk kota Garut.

Gunung dengan berbagai medan yang beragam, bisa ditemui disana. Laut dengan berbagai keindahan juga siap menyapa. Desa tradisional yang memegang teguh kebersahajaan alam. Meskipun mayoritas keindahan alam di Garut belum dikelola dengan baik, namun hal itu tidak mengurangi kepopuleran keindahan alam di Garut. Karena ada pula wisata yang telah terkelola seperti Gunung Papandayan, pemandian air panas di Cipanas (didalamnya juga terdapat taman air Sabda Alam) dan lainnya.

*****

Dan sabtu pagi ini saya sudah bersiap untuk pergi ke Garut dan tujuan saya adalah danau Ciharus. Pukul 06.30 saya sudah keluar rumah untuk naik angkot kearah Tanah Abang dan dilanjutkan dengan naik bus ke Terminal Kampung Rambutan. Jarang saya memulai perjalanan keluar kota pada pagi hari, tapi ini adalah pilihan karena tuntutan kerja yang mengharuskan pulang malam maka akan menyulitkan tubuh saya untuk sedikit beristirahat jika langsung berangkat pada malam hari juga.

Pagi itu, Terminal Kampung Ranbutan tidak terlalu ramai. Bus yang menjadi tujuan saya –yaitu Garut-  tidak langsung datang. Sedangkan bus tujuan kota lain, saya lihat sudah beberapa kali lewat. Pukul Sembilan, saya lihat bus AC jurusan Garut yang melewati tol Cipularang pun terlihat dari jauh, saya dan Puji (kawan seperjalanan) bersiap untuk naik. Alhamdulillah, bus masih kosong dan leluasa saya pun memilih tempat duduk yang nyaman. Masih menggunakan tarif Rp 35.000,-, sama dengan tarif ketika sebelumnya pertama kali saya ke Garut tiga tahun yang lalu.

Perjalanan siang kali ini menjadi terasa agak lama jika dibandingkan dengan perjalanan malam. Cahaya matahari yang muncul pun serasa ingin berebut masuk melalui jendela kaca Bus. Mungkin jika tidak ada tirai, maka semakin siang cahaya matahari akan semakin menyengat. Melewati jalur Nagreg, bus bergerak perlahan. Karena akhir pekan, jalan raya dipadati oleh para pelancong. Aktifitas dibus pun saya melakukan browsing internet, memakan cemilan dan tidur sesekali. Setelah waktu zuhur bus sudah beranjak pada jalur Rancaekek Bandung. Sama seperti di Nagreg, macet tapi masih bergerak meski perlahan. Memasuki kota Garut, maka pemandangan indah bersiap memanjakan mata. Ini salah satu kelebihan perjalanan siang hari. Dengan leluasa mata ini melihat lukisan Allah yang sangat sempurna. Hijau yang terbentang di samping jalan. Persawahan yang berkotak-kotak serta sungai-sungai yang mengalir indah. Saya berfikir, jika benci dengan para koruptor yang seringkali menjadi penyebab kebencian pada Negara Indonesia maka alihkan saja pandangan kesini, pada keindahan alam. Bahwa Indonesia tidak hanya diisi oleh keburukan, masih banyak keindahan yang patut dilihat agar tidak terpaku pada keburukannya saja. Dan sesungguhnya Indonesia hanya sebuah Negara, sebuah rumah. Rumah yang dihuni berbagai macam manusia dengan beragam sifat. Ada yang ingin membangunnya dan tidak sedikit pula yang ingin menghancurkannya. Demi kepentingan pribadi, maka penghuni lain diabaikan.

Melihat alam Indonesia yang tidak ternilai indahnya, saya berangan-angan kelak saya ingin menginjakkan tapak saya pada setiap inchi tanahnya. Disini saya dilahirkan dan disini juga saya ingin dimakamkan.

Sekitar pukul dua siang, bus sudah memasuki daerah Tarogong Garut, sudah sedikit lagi tiba di Terminal Guntur. Gunung Guntur sudah menyambut kami dengan gagahnya. Dan kami pun sampai di Garut, di Terminal Guntur. Setelah kurang lebih lima jam dalam perjalanan.

*****

Layaknya turis, kami dijemput oleh kawan kami –Kang Iman- yang sebelumnya juga mengantar kami ke Gunung Guntur. Perjalanan kali ini agak mendadak, sehingga kami tidak terlalu prepare dalam persiapan. Hanya membawa perlengkapan pribadi, mie instant dan snack. Maka sesampainya di Garut, kami sekalian berbelanja kebutuhan pokok di pasar yang terletak disamping Terminal. Beras, telur, kol, mentimun, tempe dan cabai menjadi bahan makanan dalam petualangan kami kali ini.

Kami menuju rumah Kang Iman untuk melakukan packing. Carrier terberat akan dibawa Kang Iman yang berisi tenda, alat masak, sleeping bag dan bahan makanan. Saya pun membawa carrier, namun hanya terisi sleeping bag dan peralatan ringan lainnya. Sedangkan puji membawa daypack milik saya.

Kali ini kami tidak hanya berpetualang bertiga (saya, Puji dan Kang Iman) seperti rencana sebelumnya. Tetapi ada Kang Rony dan Kang Fandy yang akan meramaikan perjalanan kami. Dengan Kang Rony, sudah dua kali saya berpetualang bersamanya sedangkan dengan Kang Fandy adalah perdana.

Adalah salah satu alasan saya jatuh cinta dengan Garut, keramahan orang-orangnya dan tutur katanya yang lembut selain keindahan alamnya.

Ba’da ashar kami memulai perjalanan. Kami akan berencana melewati jalur Drajat untuk menuju danau Ciharus. Dimulai dengan naik angkot kearah simpang lima kota Garut dengan tarif Rp 2.000,- , lalu dilanjutkan dengan angkot jurusan Samarang turun di pasar Samarang dengan membayar ongkos Rp 5.000,-.  Dari sana masih harus dilanjutkan naik angkot pedesaan berwarna kuning dan turun didaerah Toblong, sama seperti sebelumnya kami membayar tarif Rp 5.000,-. Danau Ciharus terletak dikawasan pedesaan, selain dari jalur Drajat yang terletak di Garut, danau Ciharus juga bisa dikunjungi melalui Kamojang didaerah Bandung.
Tarogong (alun-alun kota Garut)


Perjalanan menuju Toblong menghabiskan waktu kurang dari satu jam. Pukul lima kurang kami mulai berjalan menuju danau Ciharus. Jalur pertama yang kami lewati adalah jalan panjang beraspal melewati rumah warga. Keramahan orang-orang Garut seakan tidak terbatas antara desa dan kota. 

Sapa menyapa adalah hal biasa yang dilakukan disana. Selesai melewati jalan beraspal, maka kami berbelok menuju jalan berpasir, rumah warga sudah tidak tampak. Kami pun disuguhi karya menakjubkan Illahi Rabbi. Perkebunan, persawahan dan nampak terlihat jelas Gunung Cikuray yang berdiri gagah. Tak lupa saya mengambil beberapa foto untuk dokumentasi. Tidak beberapa lama, terdengar suara azan mengalun indah. Kami tidak langsung sholat maghrib karena akan menjamaknya nanti bersama sholat isya. Sejenak kami beristirahat disebuah gubug yang menurut Kang Iman biasanya digunakan sebagai warung musiman. Namun saat kami berada disana, gubug itu tidak berpenghuni dan tidak ada pengunjung lain selain kami berlima. Seperti suatu kebiasaan, istirahat adalah saat merokok untuk Kang Iman, Kang Rony dan Kang Fandy. Malam sudah mulai menyapa, gelap datang mengganti terang dan kami terus melanjutkan perjalanan. Berbekal senter dan headlamp, kami berjalan menembus malam. Gelapnya malam tidak menyurutkan langkah kami untuk  bersua dengan “alam lain” dari ciptaanNya. Entah apa pemandangan disamping kiri dan kanan saya, yang saya tahu kami berjalan naik dan turun melewati bukit-bukit. Menurut pemaparan Kang Iman, kami berjalan melewati perkebunan kemudian dilanjutkan dengan hutan pinus dan terakhir akan memasuki kawasan hutan. Medan yang kami lalui tidak terjal, amat landai. Karena itu akang-akang memilih jalur Drajat yang tidak terlalu sulit, karena jika dibandingkan dengan jalur Kamojang akan terasa berat karena medan yang terjal ditambah untuk menempuh angkutan kesana lebih jauh dibanding Drajat.

Asyiknya mendaki dimalam hari adalah tidak begitu terasa kelelahan, meski kami masih beberapa kali istirahat tapi jauh lebih baik jika dibandingkan dengan perjalanan mendaki siang hari.

Dua kali kami melewati jembatan kecil yang dibawahnya terdengar derasnya suara aliran sungai, saya kira danau sudah semakin dekat. Anggapan saya salah, menuju danau Ciharus masih harus berjalan beberapa jam lagi. Aliran sungai yang terdengar merupakan aliran dari danau Ciharus.

Memasuki kawasan perkebunan, kami tersesat. Akang-akang yang biasa datang kedanau tidak ingat dengan jalur jika malam hari. Saat itu kami dihadapkan pada dua buah jalur, kiri dan kanan. Kang Iman yang menjadi leader kami memilih jalur kiri melewati perkebunan kol dan sebuah rumah seperti persinggahan ditengahnya. Saya sebagai pendatang baru hanya mengikut saja, bahkan ketika dirasa jalan kami bukanlah jalan yang benar karena harus membuka jalur diantara lebatnya pohon. Dan melangkahpun terasa sulit, karena sepertinya jalan itu bukanlah sebuah jalur yang sebenarnya. Batang pohon, ilalang lebat membuat kami harus berhati-hati. Meski begitu Kang Iman masih terus berusaha untuk mencari jalan, hingga memanjat sebuah pohon untuk melihat jalan. Sebenarnya jalur tersebut sama saja akan menuju ke danau, namun masih sangat alami sehingga tidak ada jalur yang tersedia. Selang beberapa lama, Kang Iman tidak lagi menemukan jalan dan Kang Rony mengusulkan kembali kepersimpangan jalan tadi dan memilih arah kanan karena lebih pasti.

Jalan yang kami lewati berupa tanah merah yang mungkin akan menjadi licin tatkala hujan turun. Alhamdulillah, perjalanan kami tidak ditemani hujan. Cahaya bintang dilangitlah yang menemani kami. Dari jarak kami berjalan, bintang-bintang itu masih terlihat kecil. Indahnya perjalanan…

Memasuki hutan, kami menemui beberapa kubangan lumpur yang menyulitkan langkah kami, kami harus berhati-hati berjalan. Kehati-hatian yang kurang menyebabkan kaki kami terperosok. Hingga pada kubangan lumpur terbesar yang kami temui disana, kami mengalami kendala. Kubangan lumpur itu setinggi betis, untuk melewatinya kami harus melepaskan alas kaki kami, jika tidak maka alas kaki kami akan sulit terlepas. Kang Rony yang saat itu menggunakan sepatu mencari jalan lain agar tidak melepas sepatunya. Maka ia pun merambat dipinggir kubangan dengan sangat hati-hati. Hingga akhirnya kami berhasil melewatinya. Momen menyulitkan seperti itu bukan membuat kami kesal, justru menjadi kenangan yang tak terlupakan untuk kami. Keceriaan hadir diantara lumpur yang mengotori kaki kami.

Kami melanjutkan perjalanan hingga menemui genangan air jernih. Dan saatnya untuk kami untuk membersihkan kaki-kaki kami dari endapan lumpur.  Kata Kang Iman sebentar lagi kami akan sampai. Suara aliran sungai kembali saya dengar seperti beberapa waktu yang lalu. Benar saja, kami mendengar adanya suara orang dan cahaya lampu dari tenda. Senangnya hati kami, karena sebentar lagi akan bersua dengan Mahakarya Sang Maha Kuasa.

Kang Iman menunjukkan danau Ciharus, tapi karena sangat gelap maka kami tidak dapat melihat. Kang Iman memilih tidak mendirikan tenda tepat dipinggir danau Ciharus karena terlalu ramai. Kang Iman memilih lokasi yang tersembunyi, suara air terjun dari bawah tenda kami yang akhirnya meramaikan suasana malam kami. Saya kembali menatap kelangit dan subhanallah, bintang-bintang itu menjadi lebih besar    –mungkin karena saya berada diatas ketinggian- dan jumlahnya tak terhitung karena teramat banyaknya. Jarang sekali saya lihat pemandangan seperti ini, melihat bintang dari dekat tanpa sekat.

Kami tiba didanau Ciharus pukul sepuluh malam, jauh dari yang saya bayangkan sebelumnya. Karena menurut Kang Iman, untuk mencapai danau dibutuhkan waktu sekitar dua atau tiga jam. Setelah beristirahat dan bersih-bersih, saya, Puji dan Kang Iman sholat berjamaah. Kembali menikmati sholat ditengah alam terbuka. Dan lagi-lagi irama air terjun menjadi nuansa. Nikmatnya…

Untuk melihat keindahan danau Ciharus, kami harus menunggu hingga esok hari agar danau jelas terlihat. Saya dan Puji harus bersabar.

Karena waktu sudah malam, maka untuk makan malam kami memilih yang mudah yaitu mie instant. Tapi saya tidak bernafsu untuk makan, apalagi usai bersih-bersih disungai yang airnya berhasil membuat saya menggigil kedinginan. Beberapa kali saya dibujuk untuk makan dan saya menolaknya, saya memilih untuk berdiam ditenda dan tilawah.

Hawa dingin sudah terasa semenjak perjalanan tadi. Asap pun keluar dari mulut kami ketika kami menghembuskan nafas, saya yang tidak kuat dengan hawa dingin sudah beberapa kali muntah. Hingga tidurpun saya tidak bisa nyenyak karena faktor dingin meskipun jaket dan sleeping sudah saya kenakan. Padahal saya dan Puji berada didalam tenda sedangkan akang-akang tidur diluar. Entah kenapa, hawa dingin masih saja masuk menghujam tubuh saya. Ketika yang lainnya terlelap, hanya saya yang mengaduh kedinginan hingga pagi menjelang.

Kami dibangunkan oleh Kang Iman saat subuh menjelang, ketika tenda dibuka, hawa dingin kembali menyeruak dan saya pun lebih menggigil. Tapi saya harus melawannya karena sholat subuh harus dilaksanakan.

Hari sudah terlihat agak terang dan saya baru tahu bahwa tempat kami menginap benar-benar tersembunyi. Hijau alam seperti memeluk kami. Berjarak kurang lebih dua meter ada air terjun. Saat berwudhu, saatnya gigi saya gemeretak menahan dingin. Namun diantara kedinginan itu ada nikmat yang tak terhingga bisa kembali menemui alam bebas ciptaanNya. Sholat berjamaah saya lakukan bersama Puji karena akang-akang yang lain sudah terlebih dahulu melaksanakan sholat shubuh.

Usai sholat kulihat Kang Rony tidak ada, kata Kang Iman dia sedang berada didanau. Danau yang semalam kami perjuangkan untuk bisa mengunjunginya. Sebelum kedanau, kami memasak air dahulu untuk sekedar membuat kopi dan susu. Hhmmm… nikmatnya tiada dua.

Menjadi sangat amazing adalah ketika saya bisa mengunjungi lebih dekat ciptaan Allah yang lain berupa alam yang jarang terjamah. Nuansa yang sangat berbeda ketika saya berada diperkotaan. Disana saya bisa belajar arti kesederhanaan dan bersyukur. Memanjakan mata dan hati dengan keteduhan alami para penghuni alamNya. itulah yang membuat saya selalu merasakan kerinduan untuk terus hadir dan kembali.

Selepas menikmati hangatnya segelas susu, saya mengajak Puji untuk kedanau. Mendekati danau yang selama ini hanya saya tahu dari internet kini ada didepan mata. Jika diamati dari dekat maka danau itu tidak terlalu istimewa, sama seperti danau lain  yang merupakan kubangan air raksasa yang kini banyak terdapat alang-alang yang tumbuh disisi danau. Airnya pun agak keruh. Namun jika diamati lebih lama, maka magnet keindahan pun muncul, ketenangan mengamati danau seluas 80 hektar yang diapit hijau perbukitan dan untuk mencapainya membutuhkan perjuangan. Saya rasa tidak ada kata sia-sia untuk mengunjunginya. Benar-benar seperti sebuah lukisan raksasa yang terhampar. Bias hijau pepohonan yang terekam dari genangan air. Tak lupa saya mengabadikan keindahan itu.
Danau Ciharus

Dipinggir danau saya lihat ada beberapa tenda yang mayoritas berisi anak-anak muda yang kemudian saya tahu mereka berdomisili di Bandung dan naik melalui arah Kamojang. Dipinggir danau juga terdapat warung, warung Pak Aceng tepatnya. Warung yang menjual makanan dan minuman ringan. Sayang, saat saya disana belum ada makanan yang tersaji karena Pak Aceng sedang menunggu bahan makanan diantar kepadanya. Karena hawa masih sangat terasa dingin, saya menumpang menghangatkan badan didekat perapian yang dibuat Pak Aceng.  

Danau Ciharus

Saya berkesempatan berkenalan dengan Pak Aceng, beliau adalah lulusan Universitas Garut jurusan Pertanian pada tahun delapan puluhan. Mungkin penampilannya membuat orang-orang tidak percaya, teramat sederhana. Saya pun sempat merasa takjub dengan pengakuannya. Saya berfikir, jika dia sarjana untuk apa dia menjaga danau. Rasa penasaran saya hilang setelah saya bertanya kepada Pak Aceng. Katanya, sebenarnya dia seorang petani yang mengembangkan sistem pertanian didaerahnya (saya lupa bertanya mengenai sistem yang ia kembangkan) dan kehadirannya didanau adalah pekerjaan sampingan diwaktu luang. Menurut cerita Pak Aceng, danau Ciharus agak sedikit mistis. Disana tidak ada aktifitas (kecuali memancing dipinggir danau). Termasuk orang yang berenang atau naik perahu untuk mengelilingi danau.

Dahulu ada orang yang menaiki perahu tetapi kemudian perahu tersebut seperti tersedot kedalam pusaran air yang datang tiba-tiba dan penumpangnya hilang. Bahkan kata Pak Aceng tidak hanya pusaran air yang datang tiba-tiba juga air danau yang tenang tiba-tiba tertarik keatas seperti air mancur. Ketika ada orang yang nekat berenang kemudian tersedot kedalam air,  padahal sudah ada papan peringatan. Semenjak itu Pak Aceng sengaja menunggui danau untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan kembali terjadi.

Puas berfoto-foto dan menatap danau Ciharus yang menyimpan sejuta misteri, saya dan Puji kembali ketenda. Acara selanjutnya adalah memasak untuk makan pagi kami. Bahan-bahan yang tersedia adalah beras, mie instant, telor, ikan asin, kol, mentimun, cabai dan tempe. Saat saya dan Puji berada didanau, Kang Iman dan Kang Fandy sedang memasak nasi. Karena memasak nasi yang paling lama, maka itu lebih didahulukan. Setelah itu tempe menjadi bahan makanan yang selanjutnya dimasak. Sambil menunggu tempe matang, kami meracik telor dan mie instant untuk membuat pizza telor dan telor dadar. Namun setelah tempe, ikan asin lebih dulu digoreng baru kemudian telor dan mie instant. Kol dan mentimun yang sedianya menjadi menu lalapan kami, telah direbus sebelumnya. Untuk sambal, karena Kang Iman tidak membawa cobek, maka dia mengusulkan cara baru yang cukup mengejutkan saya. Yaitu dengan wadah piring plastik sebagai pengganti cobek dan sendok yang menjadi pengganti ulekan. Dengan berbagai gaya, saya dan Puji akhirnya tidak bisa membuat cabai dan kawan-kawan hancur, karena memang sulit sekali. Kang Iman yang mencobanya pun kesulitan (padahal dia yang mengusulkan), akhirnya dengan kesepakatan bersama maka cabai dan kawan-kawan digoreng dahulu hingga layu. Benar saja, setelah digoreng acara membuat sambal terasa sangat mudah. Momen tersebut adalah momen unik yang saya dapati dalam perjalanan kali ini. Padahal sebelumnya Kang Iman saya tawari untuk meminjam saja cobek dari pengunjung lain yang sebelumnya saya lihat ada yang sedang mencucinya disungai.  Tapi Kang Iman menolak dan kekeuh dengan cara menyambalnya yang unik.

Acara memasak sudah selesai dan makan besarpun dimulai. Dengan lauk yang banyak, terdiri dari tempe goring, telor dadar, pizza telor, ikan asin, lalapan dan sambel. Tidak pernah saya makan seperti itu dihutan. Nikmat sekali rasanya meskipun entah kenapa saya tidak seperti yang lainnya yang memiliki nafsu makan yang baik ketika berada di alam. Saya hanya makan sedikit saja, sedangkan Kang Iman dan Kang Rony sampai nambah.

Beristiharat sejenak, kemudian saya dan Puji mencuci semua alat makan. Alakadarnya pasti, karena tidak membawa sabun pencuci piring maka sabun mandi cair menjadi pilihan. Bukan dengan spons tapi menggunakan daun-daun yang langsung saya petik disebelah aliran sungai. Saat kami mencuci piring, Kang Iman diam-diam mengambil gambar kami.

Tak beberapa lama, Kang Fandy memohon izin untuk pulang terlebih dahulu dikarenakan ada agenda. Kang Rony diminta untuk mengantar Kang Fandy hingga keluar hutan.

Hari semakin siang, Kang Rony belum kembali ketenda dari mengantar Kang Fandy. Akhirnya saya, Puji dan Kang Iman berinisiatif untuk memacking barang kami untuk persiapan turun. Karena masih mengantuk akibat kurang tidur semalam, saya jadi kurang bersemangat ketika membereskan perlengkapan, bahkan saya merebahkan diri padahal tenda sudah dilipat. Memasuki waktu zuhur, Kang Rony belum juga tiba sedangkan semua alat sudah dirapihkan. Saya dan yang lainnya pun mengambil air wudhu untuk persiapan sholat zuhur. Kang Iman mengimami saya dan Puji. Beberapa saat setelah kami sholat, Kang Rony muncul. Langsung saja dia ambil air wudhu dan sholat.

Selesai membereskan semua perlengkapan, saya meminta agar bisa berfoto bersama dengan semuanya di danau. Semula semuanya menolak dan menyarankan untuk foto di hutan pinus, tapi saya menolak. Mungkin dengan terpaksa mereka semua menuruti keinginan saya. Sebelum turun kami sempatkan kembali mengunjungi danau untuk berfoto. Terkejut, ketika danau tidak lagi seperti pagi tadi. Kini danau dipenuhi para crosser. Demi sebuah keinginan saya untuk berfoto-foto saya pun melewati gerombolan crosser dan menuju kesisi danau yang lain dan meminta bantuan pada pengunjung lain untuk memotret kami berempat. Senang ?? pastinya.

Puas berfoto, kami melanjutkan perjalanan pulang. Karena siang hari, maka jelaslah trek yang semalam kami lewati seperti apa. Melewati hutan yang masih perawan, sunyi terasa didalam diri. Namun kesunyian itu pecah oleh deru mesin para crosser yang juga meninggalkan asap dari knalpot. Sungguh menyesakkan dada. Sepanjang jalan, kami harus bersabar untuk memberi jalan terlebih dahulu untuk para crosser yang lewat. Beristirahat di hutan pinus, maka acara berfoto kami lanjutkan. Tapi kali ini bukan saya yang mengambil gambar tapi Kang Iman dan Puji.

Selesai beristirahat, kami melanjutkan perjalanan. Naik dan turun itulah jalur yang kami lalui. Selain crosser, ternyata ada yang jauh lebih hebat. Deru motor yang saya kita para crosser ternyata berasal dari suara motor bapak petani yang membonceng ibu petani sambil membawa sejumlah hasil perkebunan. Sungguh menakjubkan. Mereka bukan dengan sengaja menjadi crosser, tapi lebih karena tuntutan hidup. Dan trek yang dilalui juga tidak mudah. Sedikit terjal dan sempit. Terlihat sekali bapak petani menginjak gas agak keras supaya motornya tetap stabil dan tidak terjungkal kebelakang.

Ba’da ashar kami sudah melewati perkebunan dan berada dijalanan beraspal. Pemandangan tetap saja indah dengan gunung Cikuray yang masih saja gagah. Kaki kami sudah terasa pegal dan berat untuk melangkah, jalan beraspal terasa tiada berujung.

Akhirnya kami sampai dijalan raya dan bersiap mengantar kami kembali kerumah Kang Iman. Tiga kali berganti mobil dengan rute yang sama saat berangkat. Kami tiba dirumah Kang Iman pukul lima lewat. Beristirahat sejenak, saya dan Puji kemudian membersihkan diri dan sholat. Ba’da Isya kami berpamitan untuk kembali ke Jakarta setelah sebelumnya bertemu dengan Kang Ardik dan istrinya (pengantin baru) untuk melepas rindu karena di gunung Guntur Kang Ardik banyak membantu saya.  Kang Iman dan Kang Rony melepas kepergian kami di terminal Guntur.

Sampai berjumpa lagi kotaku tercinta….


Danau Ciharus, 16-17 Juni 2012

Berbagi waktu dengan alam
Kau akan tau siapa dirimu yang sebenarnya
Hakikat manusia

-Eross-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar