Kita butuh sendiri untuk merenungi makna diri. Torehan takdir yang kadang tidak diingini. Dan hakikat diri yang masih hitam putih. Kesulitan untuk mewarnai dan tanda tanya yang memenuhi isi hati.
Sendiri untuk menahan sejuta emosi. Jika sedang jengah dengan hiruk pikuk manusia kota atau dentingan nasehat yang mengaburkan, kadangkala kita butuh sendiri. Menyendiri dari bibir yang selalu menuntut untuk didengar dan bibir yang jarang terbuka untuk berbicara, menyendiri untuk telinga yang kerap mendengar dan kadang jarang didengar, menyendiri untuk mata yang selalu melihat kebahagiaan yang sejatinya sedang semu didalam hati.
Kita butuh sendiri. Jika ada makna yang tak mampu terekam kala lalu lalang orang atau suara yang saling bersahutan. Kita butuh sendiri untuk menyelami tentang hakikat diri yang membumi. Apakah masih terbentur pada keengganan merepotkan diri untuk mengulurkan sejumput bantuan bagi mereka yang meminta. Apakah diri ini masih dilekati perasaan was-was tatkala ada kesedihan menggelayut dibalik tirai akibat diri ini. Apakah raga ini sudah cukup memberi arti ditiap inchi bumi.
Kita butuh sendiri untuk belajar menyapa dengan senyum pada sebuah goresan indah takdir Illahi yang tercurah pada diri. Tidak harus selalu indah, jika hanya untuk menyunggingkan seulas senyuman. Tidak juga harus selalu sedih, jika perlahan tawa itu merangsek dan merubah menjadi tangis. Bukan seperti membalikkan kedua telapak tangan. Begitu mudahnya. Tapi ini adalah sebuah proses, seperti pagi yang memulai hari dengan curahan sinar hangat mentari yang perlahan menjadi menyengat seakan ingin membakar, sejurus kemudian sinar itu melembut diiringi kesejukan sore hari yang indah hingga lembayung senja mengikis perlahan sinar mentari dan datanglah sang malam.
Kita butuh sendiri. Untuk mengenang setiap pahatan dosa-dosa dan kekurangan diri yang menggunung. Keterbatasan melakukan keinginan untuk merubah sesuatu pada kebaikan, namun diri masih diliputi sejuta interupsi. Mungkin bisa jadi bukan interupsi tapi ketidakmampuan mengendalikan emosi. Atau keterbatasan pemahaman dan aktualisasi diri. Entah, mungkin alasan atau dibuat menjadi seperti alasan. Apapun itu, sendiri adalah introspeksi.
Kita butuh sendiri. Adakalanya. Karena kemanjaan sering menggelayuti diri. Banyak tangan yang siap terulur. Hingga kita terbuai usapannya dan enggan beranjak jika tidak ada penuntut. Saat ini, mungkin diri ini masih seperti itu. Bergerak jika tersepak. Sedangkan kita tidak selamanya beramai-ramai. Tidak selalu bersama. Tidak selalu bertiga. Tidak selalu berdua.
Kita butuh sendiri. Yang kadang menjadi mendadak penyemangat. Meskipun hati sedang tidak selamat. Atau diri yang menuntut diberi semangat. Sendiri adalah waktu mengumpulkan semangat yang tercecer pada tiap hikmah yang terlewatkan oleh jejak kaki. Karena diri adalah penyemangat paling berarti. Seribu mutiara berkata, tidak akan mampu menembus hati yang pilu dan lemah jika masih tergugu dan terpaku pada bayang hitam.
Kita butuh sendiri untuk merenungi diri. Merenung mengingat mati. Dibawah pekatnya timbunan tanah, hanya sendiri nanti. Mereka, tempat pencurah kasih sayang terdiam dalam tangis. Teman-teman yang mengajak tertawa menjadi tiada. Teman-teman pemberi semangat sudah berbeda dunia. Hal-hal indah tiada lagi direngkuh. Kita butuh sendiri untuk senyum nanti. Dengan amal yang menaungi, dengan cita dihari nanti. Bahwa ridho Illahi menjadi sangat berarti.
Seperti saya saat ini sangat butuh kesendirian dalam mengevaluasi hati dan diri
BalasHapusbersama mengevaluasi hati dan diri.. semoga setelahnya menjadi hamba yang lebih baik.. aamiin..
Hapus