Artikel

Ludahmu Diwajahku

Kembali, pagi ini melanjutkan aktifitas seperti biasa. Aktifitas biasa yang selalu ada warna warni yang terselip didalamnya. Hikmah yang terpendam dari sebuah kisah sederhana. Dari debu pagi yang mengawali hari. Dari kumpulan keringat demi hidup yang lebih baik.

Dipinggir jalan, saya menunggu Kopaja yang akan mengantar saya ketempat saya bekerja. Tidak lama, Kopaja itu datang dan saya segera menaikinya. Begitu masuk, saya terkejut oleh suara seorang Bapak yang berbicara dengan nada kasar dan keras dan ditujukan kepada seorang pemuda yang yang berada didekatnya. Yang saya dengar dari perkataan sang bapak adalah :
"Kurang ajar, buang ludah sembarangan. Mending kalau yang kena itu baju, ini pas sekali dibibir."

Berulang kali saya dengar bapak itu mengulang perkataannya, seolah hendak mengeluarkn amarahnya. Padahal pemuda itu sudah berkali-kali meminta maaf dan saya lihat ada raut penyesalan diwajahnya. 

Beberapa saat, bapak itu tidak juga berhenti memaki, memarahi dan berkata kasar. Mungkin, seluruh penumpang tahu dan mendengar peristiwa itu tetapi tidak ada yang berani yang bertindak atau melerai. Bisa jadi akan berdampak lebih buruk atau bisa menyulut emosi si bapak jika ada yang "ikut campur".

Sampai pada puncaknya, tiba-tiba bapak itu berdiri dan menampar wajah si pemuda. PLAAKK. Reflek saja si pemuda menutup wajahnya, mungkin terasa sakit. Dan bapak itu masih tetap berbicara kasar dan memaki, meski kata maaf juga terus diucapkan si pemuda.

Kemudian si pemuda menjauh dari si bapak yang duduk dibelakang dan berjalan agak kedepan. Kemarahannya sudah agak mereda, mungkin telah terlampiaskan dengan tamparan tersebut. Saya yang semenjak awal memperhatikan peristiwa tersebut lalu beralih memperhatikan si pemuda. Entah kenapa saya menjadi sangat miris. Saya bisa ambil kesimpulan bahwa si pemuda kemungkinan besar tidak sengaja membuang ludah ketika ternyata ludahnya itu tepat mengenai bibir si bapak. Kejadian mungkin terjadi tidak lama sebelum saya naik Kopaja tersebut.

Saya masih mengamati si pemuda yang berdiri membelakangi saya. Tampak dia terus menyeka matanya dengan sebelah tangannya. Saya pikir dia pasti terkejut dan tidak mengira akan mengalami kejadian seperti itu. Saat si pemuda mendapatkan tempat duduk tept disamping saya, saya lihat pemuda itu menangis. Saya lihat airmatanya mengalir deras. Dia menangis tanpa suara. Tangisan yang menandakan penyesalan yang mendalam atau karena rasa malu. 

Terbersit rasa kasihan terhadap pemuda itu. Ia pasti sangat menyesal dengan kejadian tersebut. Jika memang dia sengaja melakukan hal buruk atau minimal dia bukan seorang yang baik, dia akan melawan atau balas mencaci saat si bapak tiada henti memakinya. Tapi itu tidak dilakukannya. Karena dia mungkin memang merasa bersalah. 

Si bapak yang (mungkin) pantas merasa kesal karena ulah seorang pemuda yang menurutnya berlaku tidak sopan atau bahkan kurang ajar. Dan perbuatan tidak sengaja seorang pemuda yang mengakibatkan dirinya menyesal. 

Pelajaran yang sangat berharga saat diri hendak melakukan aktifitas. Semoga bapak itu diberi kelapangan hati untuk bisa memaafkan dan si pemuda diberi kesabaran serta menjadi pembelajaran untuk berhati-hati dalam bertindak, sepele apapun suatu perbuatan.

Semoga peristiwa tersebut menjadi pengingat pribadi yang seringkali lalai. Karena dari peristiwa yang sepele dan sering terlewat, menyimpan hikmah yang mendalam.

Allahua'lam

Desaku Yang Kucinta...

19 Agustus 2012, bertepatan dengan perayaan Idul Fitri 1433 Hijriyah, saya dan Ibu saya pergi menuju kampung halaman pada sore harinya. Sudah dua tahun saya tidak mengunjungi tanah kelahiran Ibu saya, yang ternyata ketika datang tidak jauh berbeda dengan dahulu. Tetap sunyi, entah karena memang seperti itu atau mayoritas penduduk banyak yang merantau meninggalkan kampung halaman. Setidaknya semenjak kecil saya pulang kampung, tidak pernah saya temui keramaian bahkan saat perayaan Idul Fitri. 

Kampung halaman saya berada di Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Semarang, Kotamadya Salatiga, Kecamatan Bringin, Desa Pakis. Saya selalu bilang pada kawan saya, bahwa kampung saya berada dipedalaman. Kenapa ? Karena disana suasana masih serba alami, pohon-pohon masih tinggi menjulang, sawah-sawah menghampar, bukit-bukit hijau seolah menjadi batas sudut desa. Dan tidak semua provider memiliki sinyal yang baik disana, juga provider yang tergolong tidak baru. 

Desa Pakis masih didominasi oleh rumah-rumah yang berdinding kayu dan beralaskan tanah, meski kini sudah terlihat rumah-rumah tembok dan lantai keramik. 

 *****



Rumah Mbah saya
Beberapa tahun lalu, ketika saya masih sekolah dan pulang kampung, rumah nenek saya masih sangat sederhana. Sama sekali tidak ada listrik, hanya menggunakan cahaya dari sumbu kompor  yang dimasukkan kedalam kaleng dan menggunakan bahan bakar minyak tanah atau lampu templok (juga berbahan bakar minyak tanah). Hasilnya, ketika malam datang dan hendak pergi keluar maka menggunakan penerangan tersebut atau blarak (daun kelapa kering yang dibakar). 

Karena tidak ada listrik, maka TVpun tidak ada. Hiburan saya saat pulang kampung adalah bercengkerama dengan saudara dan bermain disekitar rumah. Memberi makan ternak, pergi kesawah, main di kali dan sebagainya.

Dulu, di desa saya belum banyak yang memiliki kamar mandi (MCK) atau sumur ditiap rumahnya. Untuk MCK mengandalkan kali atau sungai yang memiliki mata air yang banyak. Pada musim penghujan, air begitu melimpah sehingga tidak sulit untuk mendulang air, sedangkan jika musim kering datang maka debit air disungai menjadi jauh berkurang dan sumur resapan menjadi terasa sangat dalam.

Jalan-jalan disepanjang menuju kerumah nenek saya, banyak lubang dan berbatu. Dengan bentuk jalanan yang naik dan turun, saya menganggap itulah kekhasan dari desa saya. Tepat didepan rumah nenek saya, jalan naik dan turun itu berada. Sangat terjal, tapi tidak menghalangi kendaraan bermotor untuk lalu lalang. Jika hujan turun, maka jalanan akan otomatis licin. Untuk ke kali yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah pun saya seringkali merasa takut.  Alhamdulillah, sekarang jalan-jalan sudah banyak yang diperbaiki.

Masih segar dalam ingatan, ketika saya bermain diantara pohon bambu yang banyak terdapat disebelah rumah. Begitu sederhana, tetapi nikmat terasa. Dengan adik dan kakak saya. Membuat rumah-rumahan dengan kerangka kayu dan dilapisi daun pisang sebagai dinding dan atapnya. Atau ketika suatu kali ikut dengan Paman mencari rumput disawah. Ketika mandi dikali dan mendadak gerombolan kerbau lewat disebelah saya. 

Kemudian, saya merasa sangat ingin BAB pada malam hari sedangkan dulu di desa saya belum ada kamar mandi dan mengandalkan kali, akhirnya ditemani ibu, saya melakukan hajat saya dengan diterangi blarak dialiran air dekat rumah. Memang sebelum adanya WC (kini sudah dibangun WC bersama dimasjid), permasalahan BAB menjadi masalah bersama. Masyarakat biasanya BAB di kali atau dialiran air atau terkadang ditanah yang kemudian ditimbun tanah. 

Sekarang listrik sudah ada di desa saya, meskipun tidak semua jalan terdapat lampu jalan yang mengakibatkan ketika malam datang tidak banyak orang yang keluar. Masyarakat juga sudah banyak yang membuat sumur resapan dirumahnya masing-masing sehingga tidak perlu jauh-jauh jika akan mandi.

Hingga kini, yang masih bertahan dikampung saya adalah penggunaan kayu bakar untuk memasak. Mereka tidak berpengaruh oleh kelangkaan atau kenaikan harga gas elpiji. Penggunaan yang bijak juga tidak membuat ekosistem menjadi rusak. Mata pencaharian yang sebagian besar bertani, membuat mereka bisa mengandalkan kebutuhan pokok dari hasil tani mereka. Selain menyambi dengan menanam sayur mayur yang hasilnya juga dijual dipasar selain untuk konsumsi sendiri. 

Ada yang hal yang saya heran dari keluarga saya didesa, mereka jarang sekali menyantap makanan yang berjenis daging. Ketika saya menginap, makanan yang disajikan tidak terlepas dari sayur mayur dan hanya sesekali berlaukkan ikan atau ayam.  Tapi itulah kenikmatan yang tidak saya temui saat kembali ke kota.

Kejadian lucu yang masih teringat hingga sekarang, ketika Mbah lelaki saya (Mbah Muhbariyah) mengajak saya pergi kemasjid. Waktu itu usia saya kurang lebih lima tahun. Saya tidak dipakaikannya mukena selayaknya perempuan pada umumnya ketika akan sholat. Tapi Mbah saya memakaikan saya peci dan mendirikan saya disebelahnya yang notabene adalah shaf untuk kaum lelaki. 

Saya salut dengan Mbah saya itu, meskipun usia sudah tidak muda lagi (sekarang kurang lebih delapan puluh dua tahun) tapi semangat beribadahnya tidak kendur. Ketika saya tidak menemui banyak anak muda datang ke masjid, justru Mbah saya selalu sholat berjamaah di masjid. Dan memang, sejak beberapa tahun yang lalu, saya amati tidak banyak anak muda datang ke masjid. Masjid kebanyakan dihuni oleh Mbah-Mbah sepuh dan bapak-bapak. 

*****

Libur lebaran adalah waktu kumpul-kumpul keluarga. Itulah yang selalu terjadi saat pulang kampung dan bertepatan dengan lebaran. Semua keluarga kumpul menjadi satu. Satu rumah bisa menjadi penuh mendadak dengan banyak penghuni. Mbah saya, Paman saya dan anak-anaknya, Bibi saya dan anak-anaknya dan saya sendiri dan keluarga dari Jakarta. Jika dihitung bisa belasan orang. Ramai tapi menyenangkan. Karena jika hari biasa maka semuanya akan kembali dengan aktifitas masing-masing. Maka libur lebaran menjadi ajang saling melepas rindu dan silaturrahim. Libur lebaran adalah waktu kumpul-kumpul keluarga. Itulah yang selalu terjadi saat pulang kampung dan bertepatan dengan lebaran. Semua keluarga kumpul menjadi satu. Satu rumah bisa menjadi penuh mendadak dengan banyak penghuni. Mbah saya, Paman saya dan anak-anaknya, Bibi saya dan anak-anaknya dan saya sendiri dan keluarga dari Jakarta. Jika dihitung bisa belasan orang. Ramai tapi menyenangkan. Karena jika hari biasa maka semuanya akan kembali dengan aktifitas masing-masing. Maka libur lebaran menjadi ajang saling melepas rindu dan silaturrahim.

Karena saya pulang kampung bertepatan dengan Idul Fitri, maka suasana hangat silaturrahim sangat terasa. Mungkin ada yang sudah mengetahui tradisi yang dinamakan BADAN. Bukan tubuh, tapi semacam silaturrahim kerumah saudara ketika Idul Fitri. Meskipun jarak rumahnya tidak bisa dibilang dekat, tapi tradisi semacam itu tetap ada dan semoga akan selalu ada. Pada beberapa kali badan, saya ikut bersama rombongan sepupu, bibi dan paman saya. Mengunjungi saudara-saudara tua (Mbah) yang masih hidup atau keturunannya. Meskipun jika ditanya, "ini mbah siapa dan itu mbah siapa", saya pasti akan menggelengkan kepala tidak tahu karena lupa. Ya, karena teramat banyaknya. Tapi badan, bisa sangat menyenangkan karena menyicipi makanan yang tersaji. Dari rumah kerumah dan dalam sehari mengunjungi beberapa rumah. Nikmatnya....

Kebersamaan itu pula yang membuat saya kagum pada mereka. Jika ada yang lewat depan rumah, mereka akan saling menyapa dan menawarkan untuk mampir (meskipun tidak kenal). 

Kebersamaan yang kemudian masih melekat dalam ingatan adalah, saat Ibu saya bercerita. Beberapa tahun lalu, saat nenek saya wafat (Mbah Nafisah) pada malam hari sekitar pukul sepuluh malam. Para tetangga dengan sigap tanpa menunggu datangnya mentari pagi langsung membantu mengurus pemakaman nenek saya pada malam itu juga hingga selesai sekitar pukul tiga pagi. Sesuai sunnah Rasul, mengurus jenazah harus disegerakan. 

Di desa saya, pemakaman sangat berbeda dengan di kota. Jika di kota, pemakaman dibuat sekokoh atau seindah mungkin tapi tidak di desa saya. Nisan yang digunakan hanya dua batang kayu tanpa ukiran nama almarhum, tanggal lahir dan wafatnya. Beberapa kali saya ziarah ke makam nenek saya, saya selalu bingung. Tetapi Paman saya yang selalu membimbing saya. 

Makam Mbah saya, Mbah Nafisah
Makam nenek saya hanya ditandai dua buah patok kayu dan batu yang ditengahnya ditanam satu tanaman dan disekelilingnya dibuat pembatas dari batu seadanya. Satu pelajaran yang mengingatkan, bahwa kesederhanaan tetap mengikuti bahkan ketika maut menjelang.

*****

Sekarang musim panas, sawah-sawah terlihat retak karena belum teraliri air. Meskipun panas, pohon-pohon yang tinggi di dekat rumah mampu menghalau terik matahari hingga menjadikannya tetap sejuk. Bersantai di bale depan rumah sambil ngobrol dan makan makanan ringan dengan saudara, ditemani semilir angin, menjadi saat-saat yang nikmat.  



Dan akhirnya kerinduan saya untuk ke sungai Grenjeng yang berada didekat rumah tercapai. Karena beberapa kali pulang kampung, saya tidak mendapat izin untuk kesana dengan alasan sungai itu sekarang sudah sangat sepi, jarang ada orang lalu lalang sepert dulu. Dan libur lebaran tahun ini, saya bersama adik sepupu saya main di sungai Grenjeng. Hanya beberapa menit dari rumah, melewati pohon-pohon bambu, kami sampai di sungai. Berfoto-foto dan bermain air. Karena sekarang sedang musim kering, maka debit air di sungai tidak banyak. Sungai yang diapit oleh pohon-pohon yang tinggi menjulang dan bersebelahan dengan persawahan terasa sangat sunyi, hanya aliran air yang menjadi irama. Meski siang hari, tapi terlihat lebih gelap. Tidak lama saya berada disana dan kemudian kembali pulang. 

Kabut Diantara Cahaya

Ludah terbuangpun, bisa kembali ditelan
Saat kehausan meraja 
Sungguh, rindu ini begitu menggigit
Dan seketika rasa mampu terbersit

Ada pengorbanan tak biasa
Pada hati yang luar biasa

Ini adalah sementara
Hanya kabut diantara cahaya
Seketika lenyap
Lalu menjadi nuansa

Asa itu menggantung dilangit
Teruntuk Illahi Rabbi
Hanya pada Illahi Rabbi
Sedang makhuk adalah fana
Biasnya pun membuat pedih

Masa ini adalah sementara
Bukti cinta dari Sang Pencipta
Biar saja semua memandang hina
Biar Tuhan tetap didalam dada

Biar Aku Mengeja

Biar aku mengeja hembusan angin
Biar aku mengeja indahnya lembayung senja
Biar aku mengeja hangatnya mentari pagi
Biar aku mengeja pekatnya tanah merah
Biar aku mengeja hijau daun yang menyejukkan

Biar aku mengeja pengapnya ibukota
Biar aku mengeja senyum yang terukir
Biar aku mengeja Buncahan kemarahan
Biar aku mengeja ketergesaan

Biar aku mengeja tubuh bergetar karena cinta
Biar aku mengeja rona merah pada wajah
Biar aku mengeja genggam erat persahabatan
Biar aku mengeja uang-uang yang berkuasa

Biar aku mengeja tubuh-tubuh telanjang resah
Biar aku mengeja tatap sinis yang memilukan
Biar aku mengeja kebisuan suara
Biar aku mengeja gema kerinduan dalam dada

Biar aku mengeja penantian dialam surga
Biar aku mengeja penyesalan dalam neraka

Biar aku mengeja
Biar aku mengeja

Biar aku mengeja dan terbata
Dan kurangkai dalam barisan kata
Dariku yang teramat fana
Tiada mampu bersuara
Hanya menorehkan setitik hikmah

Biar aku mengeja dan meraba
Setiap hikmah yang terpisah
Aku hanyalah hamba
Dari mengeja kubuat makna

Pada persinggahan ini
Sejenak berharap berarti

Jika tiada nanti, mungkin ini menjadi arti
Meninggalkan dan ditinggalkan

Diambang Perpisahan

Sejenak kau singgah, entah akan bersua lagi
Darimu berjuta hikmah ku rengkuh
Hati yang lalai kemudian merindu
Mata yang tak acuh kini menanggung kelu

Seluruh manusia mengagungkanmu, merindukanmu
Pun aku yang masih tertutup debu
Kau adalah hadiah terindah
Untuk kami pencari cinta sejati

Beberapa jenak aku abaikan engkau
Duniaku bergema selalu
Tenanglah, engkau selalu ingatkanku
Duniaku adalah penyambung akhiratku
Katamu selalu

Kini kau tepat dipelupuk mata
Bukan lagi hadir tapi kembali pergi
Jika diri bersua lagi
Semoga indah akan menanti
Menjadi pribadi shalih
Lebih dekat pada Illahi

#Untuk bulan penuh rahmat, Ramadhan yang akan berlalu
Malam ke-29 dibulan Ramadhan 1433 H

Aku Wanita (2)

Aku wanita dan aku rapuh
Namun tak nampak dalam laku
Dan tak berarti kau bebas berlaku
Karena hatiku terlalu rapuh

Aku wanita dan kau pelindungku
Sekuatnya aku adalah terlemah dihadapanmu
Selemahnya engkau adalah terkuat dihadapanku

Aku wanita, bukan ajang persinggahan
Bukan ajang pelampiasan rasa yang tak biasa
Bukan ajang pengujian rasa sementara

Aku wanita yang tak biasa
Aku dipilih dan aku memilih
Aku penghamba cinta sejati
Cinta sejati berlandaskan Illahi Rabbi

Aku wanita dan aku istimewa

Tentang Kita Dan Allah

Jika kita tersenyum dengan kebahagiaan
Mungkin dengan kesedihan
Kita bisa belajar menyambutnya dengan senyum
Senyum termanis
Pada keindahan takdir Illahi

Keindahan mengalirnya airmata
Pengakuan kekerdilan hamba
Bahwa memang tiada daya dan upaya
Bahwa semua milik-NYA

Allah yang mencipta segala
Bukan hanya suka yang membuat lena
Juga duka yang menciptakan daya

Bagaimana kita, biar Allah pemberi makna
Baik dan buruk semoga menjadi hikmah
Allah Maha Pengasih
Allah Maha Penyayang
Selalu memberi, selalu menyayangi

Hanya tentang kita dan Allah

Aku Wanita

Aku wanita
Aku istimewa dalam cinta
Dengan cinta yang tumbuh bagaikan kuku
Perlahan namun utuh

Aku istimewa dalam cinta
Meski cinta memenuhi ruang hati
Mengalir bersama darah
Namun mampu tersembunyi
Bagai mutiara didasar lautan

Aku istimewa dalam rasa
Warna warni yang tak terhingga
Kau bilang aku bahagia
Sebenarnya hati kini menghalau duka

Aku wanita dan aku istimewa
Beban yang menggelayut qalbu
Tak akan nampak dalam laku

Aku wanita
Aku istimewa
Kekuatanku adalah kelemahanku
Mandiri namun tak ingin sendiri
Mencintai dan ingin dicintai

Aku wanita dan aku istimewa
Aku mampu menaklukkan dunia
Ditanganku kejayaan bangsa mampu terwujud
Ditanganku pula mampu membinasakannya

Aku wanita bagai sekuntum mawar
Keindahanku tiada ternilai seisi dunia
Keshalihanku mampu menyaingi bidadari syurga

Aku wanita dengan mudah menuju syurga
Tapi nerakapun mudah pula ku masuki
Dengan taatku, dengan ingkarku

Aku wanita dan aku istimewa

Dengan Allah

Bismillah...

Kuasa Allah yang membolak-balikkan hati
Saat taat dan ibadahpun semangat
Saat lengah dan ibadahpun melemah
Saat kosong dan tiada harapan menyongsong
Saat daya terasa hampa

Kuasa Allah adalah segalanya
Pada titik terlemah
Pada kekakuan hati
Ingatlah DIA meski sedikit, meski sedetik
Semoga yang sedikit dan sedetik
Adalah bibit mekarnya iman
Hingga langit ketujuh

Benar hanya Allah dan memang hanya Allah
Tak akan sepi
Meski sendiri disini
Keramaian doa yang dihaturkan
Memenuhi keindahan hati ini

Ya, doa itu menjadi penyemangat
Bahasa cinta seorang hamba
Tanda kekuatan dari Sang pencipta

Tiada batas, tiada sekat
Dengan Allah

Penuhi hati kami dengan cintaMU
Agar kelapangan selalu hadir
Agar keindahan selalu tampak
Bagaimanapun, dimanapun


Allahua'lam